Page 126 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 126
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
yang berasas gotong royong, mengandung potensi ber-
kembang dengan mengindahkan unsur-unsur hukum
agama dan dapat menyesuaikan diri dengan zaman”. Tam-
paknya Sadjarwo juga tidak sepenuhnya yakin terhadap
sistem adat di Indonesia yang akan menjamin keadilan
untuk masyarakat, karena pengaruh kolonial yang pan-
jang menjadi pengalaman yang buruk bagi masyarakat
adat Indonesia, dan beberapa menunjukkan keuntungan
kelompok tertentu dalam lingkup adat itu sendiri. Oleh
karena itu penekanannya pada gotong royong dan hukum
agama yang menjadi penekanan Sadjarwo saat menyam-
paikan draft UUPA di depan anggota DPRGR 1960.
Pembangunan hukum adat dalam konteks tanah
sebenarnya dibutuhkan untuk mengatur tanah adat/
ulayat/suku dan atau nama lainnya. Idealnya, semua
persekutuan adat memiliki kelembagaan sendiri dan
dijalankan untuk anggota masyarakatnya, tentu saja
secara kolektif mematuhi pimpinan adatnya. Jika sistem
dan kelembagaannya tidak lagi ada, maka hal tersebut
dianggap tidak sesuai dengan UUPA Pasal 3, “pelaksanaan
hak-ulayat dan hak yang serupa dari masyarakat hukum
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, … dan
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan lain yang lebih tinggi”. Pasal 3 di atas secara
ideal tidak mutlak mengunci pergerakan hukum adat,
artinya hukum adat bisa diberlakukan dan juga tidak bisa
diberlakukan jika dianggap tidak sesuai dengan kepen-
tingan nasional. Kepentingan nasional bisa bermakna
luas, baik hukum, pembangunan, keadilan, dan kesejah-
90