Page 131 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 131
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
pakar lain berbeda di dalam memahami benturan kepen-
tingan adat dengan negara. Soehadi (1970a) misalnya
menjelaskan, saat negara membutuhkan tanah ulayat di
beberapa wilayah adat, sempat terjadi benturan karena
mendapat penolakan, padahal negara sangat membu-
tuhkan tanah tersebut. Saat terjadi demikian, maka tugas
negara menjelaskan kepada masyarakat secara benar ten-
tang kedudukan hukum tanah ulayat, bukan dengan cara
menolak pengaturannya. Negara harus menjelaskan
kedudukan tanah suku/ulayat sebenarnya dan kedu-
dukan UUPA dalam hukum tanah secara nasional terha-
dap kedudukan tanah ulayat. Soehadi menambahkan,
faktanya hal tersebut bisa diselesaikan dan tidak menim-
bulkan persoalan. Artinya, benturan kepentingan itu
karena negara belum menjelaskan secara benar bagaimana
menjalankan hukum adat, dalam konteks ini tanah ulayat,
karena hak ulayat bukan merupakan paham yang sempit,
melainkan paham yang luas. Perbedaan itu seharusnya
menjadi diskusi lebih lanjut, karena bisa jadi rumusannya
bukan pengaturan hukum adat secara nasional melainkan
pengaturan hukum adat secara lokal atau regional dengan
mempertimbangkan amanat UUPA Pasal 3 dan 5.
Beberapa pandangan menyetujui bahwa pengaturan
hukum adat dalam konteks tertentu dianggap tidak flek-
sibel serta rentan dengan benturan kepentingan adat dan
nasional. Pada kasus tertentu pula misalnya, jika lembaga
hukum adat yang sifatnya terbatas dalam wilayah tertentu
kemudian pengaturannya secara nasional, maka akan ber-
laku pula bagi semua pihak. Siapa pun yang mempunyai
95