Page 134 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 134
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
sebagaimana termaktub dalam UUPA Pasal 27, 34, dan
40. Kenyataan ini juga diperkuat dalam UUPA terkait
perbedaan perlakuan terhadap hak atas tanah bagi warga
negara asing, sementara sesama warga negara Indonesia
baik perbedaan suku, keturunan, agama, dan golongan
tidak ada pembedaan dalam persoalan hak atas tanah.
Dari berbagai kajian dan argumen di atas menun-
jukkan bahwa, UUPA yang dihasilkan oleh para pendiri
negara tidak dimaksudkan sebagai aturan pokok terkait
tanah yang bersifat mutlak, melainkan lebih pragmatis
dalam pelaksanaannya. UUPA berpedoman pada penaf-
siran yang dianggap “paling baik dalam menghadapi
tuntutan dan memenuhi kebutuhan masyarakat” sesuai
zamannya (Harsono, 1976). Sebagaimana awal sub bab
tulisan ini mempertanyakan mengapa hukum adat gagal
dibangun untuk pedoman pengaturan tanah adat secara
teknis, maka penjelasan di atas menjadi logika argumen-
nya. Bukan benar atau salahnya, melainkan tafsirnya yang
masih bertahan hingga sekarang, karena faktanya aturan
terkait hukum adat dalam tata kelola tanah suku/ulayat
belum pernah ada secara nasional, melainkan kemudian
terbit secara lokal/regional, seperti dalam kasus tanah
druwe desa di Provinsi Bali (Jayantiari & Wijaya, 2017;
Sastrawan et al., 2018; Sudantra, 2018).
B. Landreform: Kegagalan Penataan Agraria, 1961-1965
Perjalanan panjang dan perdebatan rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria akhirnya dapat disele-
saikan pada tahun 1960. Sejak awal pertama kali dice-
98