Page 132 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 132
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
hubungan hukum dengan tanah jika bersinggungan
dengan lembaga hukum adat maka akan berlaku pula atas-
nya. Hal ini dianggap tidak terlalu tepat, karena menim-
bulkan konsekuensi lain bagi orang-orang yang seharus-
nya bukan menjadi bagian dari masyarakat adat dan akan
terkena aturan tersebut. Artinya, kodifikasi norma-norma
hukum adat yang seharusnya berlaku secara lokal atau
regional dan terbatas ruang lingkupnya tidak bisa diber-
lakukan secara nasional.
Harsono (1976) dalam pandangannya menegaskan,
“tujuan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Untuk itu,
ketentuan-ketentuan dan lembaga-lembaga hukum adat
yang bertentangan dengan Pancasila atau penghambat
bagi penyelenggaraan pembangunan perlu diganti”. Se-
mentara lembaga-lembaga hukum adat yang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan juga tidak mengham-
bat pembangunan harus dibiarkan berlangsung dan
berjalan sesuai keinginan masyarakat adat (Soemarsono,
1972). Jika diperlukan harus disempurnakan agar lebih
bermanfaat bagi penyelenggaraan pembangunan hukum
adat, tercipta kesejahteraan masyarakat, sekaligus sebagai
perlindungan untuk anggota masyarakatnya/persekutu-
annya”.
Dari beberapa argumen di atas, penulis meyakini,
penyebab absennya hukum adat terkait tanah dapat
disimpulkan karena melihat realitas di lapangan yang
berbeda-beda di tiap wilayah, sehingga menyulitkan jika
diatur secara nasional (Penyuluh Landreform dan Agraria,
96