Page 310 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 310
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
annya, supaya sama kementerian lain seperti kehutanan,
pertanian, dan lainnya.
Pertanyaannya mengapa wacana peningkatan kelem-
bagaan agraria muncul ke publik? Sedikitnya ada tiga
alasan yang mengemuka dan menjadi perbincangan ka-
langan aktivis/scholar activist dan akadmisi, pertama,
BPN berjanji menjalankan reforma agraria namun diang-
gap gagal melaksanakannya. Para akademisi berkaca pada
kasus RA dengan objek 9 juta hektar yang digagas oleh
Joyo Winoto (M. Shohibuddin & Salim, 2012; Winoto,
2012) dan berkahir pada kegiatan administrasi belaka, yak-
ni legalisasi aset dengan sedikit bumbu akses reform ala
de Soto (Soto, 2001). Argumen lain terkait RA yang diang-
gap clear adalah gagalnya menerbitkan peraturan RA
(waktu itu sedang dibahas—RPP RA) pada pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono; kedua, penyelesaian problem
agraria seperti konflik agraria baik di internal BPN mau-
pun konflik lintas sektor banyak yang terhenti akibat posisi
dan daya gedor kelembagaan agraria lemah. BPN dianggap
gagal menghadapi stakeholder lain dalam melakukan bar-
gaining position untuk menyelesaikan konflik-konflik
agraria yang marak. Konflik agraria dianggap struktural
yang menciptakan ketimpangan penguasaan tanah secara
akut (Bachriadi & Wiradi, 2011; Lucas & Warren, 2013);
ketiga, di mata banyak aktivis dan akademisi, kelembagaan
agraria (BPN) tidak sejajar dengan kelembagaan lain yang
mengurusi persoalan yang sama penting karena menyang-
kut hajat hidup orang banyak seperti kehutanan, perta-
nian, dan pertambangan. Selain mandat UUPA yang ha-
274