Page 211 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 211
Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan 199
Aksi corat-coret gedung juga terjadi di berbagai tembok di
hampir semua gedung milik perusahaan perkebunan, termasuk
gudang-gudang yang ada di pelosok-pelosok pedesaan. Berbagai
coretan tersebut mengingatkan pada coretan beberapa saat paska
terjadinya proklamasi kemerdekaan nasional 1945, yang dilakukan
oleh komite van aksi. 21 Setidaknya pada dinding bangunan milik
eks perusahaan perkebunan partikelir daerah Wono J P
Suto, Kotta Blater, dan daerah-daerah perkebunan lainnya banyak
ditemukan coretan dengan nada tulisan milik republik, sudah dikuasai
22
republik, dan coretan lain-lain, yang sifatnya membangkitkan rasa
identitas nasional. Aksi corat-coret tersebut merupakan representasi
dari ekspresi masyarakat perkebunan Jember atas eksploitasi lahan-
lahan perkebunan mereka oleh pihak Belanda. Sebuah representasi
23
kehadiran nilai-nilai baru nasionalisme, dan ketidakhadiran nilai-
nilai lama yang bercorak kolonialistik.
Setelah itu mereka berbondong-bondong berjalan menuju
komplek perumahan perusahaan perkebunan milik warga
di sepanjang jalan protokol Jember (sekarang jalan Gajah Mada) dan
gedung-gedung yang pernah menjadi tempat aktivitas warga Belanda.
Uniknya, menurut Kusdari tidak ada satupun barang-barang milik
21 Pada tahun 1945 aksi corat-coret bagi pihak Indonesia sebagai upaya
untuk membangkitkan semangat perlawanan, namun bagi pihak
Belanda aksi tersebut sebagai tindakan propaganda. Lengkapnya
lihat Bennedict Anderson, Revolusi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan
Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hlm. 535-
39.
22 Wawancara Sahid, 8 Juni 2004. Wawancara Kusdari, 10 Juni 2004.
23 Karena sejak kembalinya Belanda ke Indonesia, itu artinya sebanding
dengan kembalinya kekuatan kapitalisme dagang yang bersifat
merkantilis. Karena yang diinginkan oleh orang Belanda adalah barang-
barang komoditi primer dari negara-negara jajahan yang kemudian
diperdagangkan ke pasar dunia, seperti ke Amerika, Jerman, Inggris,
Cina dan Jepang. Lihat Alex Gordon, ‘Indonesian Plantation And The
Post-Colonial Mode of Production’ Journal for Contemporary Asia, Vo.
12, No. 2, 1982, hlm. 172.