Page 207 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 207
Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan 195
Tentu saja seruan terebut mendapat sambutan luar biasa dari
masyarakat perkebunan. Masyarakat perkebunan serasa mendapat angin
kembali untuk masuk dalam perkebunan setelah dikeluarkan oleh hasil
penjanjian KMB. Tahun-tahun sebelumnya masyarakat perkebunan
hanya melakukan desakan kepada pemerintah untuk melegalkan
tindakan mereka yang telah menduduki dan menggarap lahan, serta
mulai dilibatkan dalam pengelolaan perkebunan. Seiring dengan
situasi politik hubungan internasional Indonesia-Belanda, tuntutan
yang sifatnya semata-mata untuk kesejahteraan ekonomi berubah dan
berkaitan dengan politik. Kongres Sarbupri di Malang tanggal 6-9 Juni
1956, salah satu resolusinya adalah mendesak Pemerintahan RI agar
9
melakukan penyitaan seluruh aset milik Belanda di Indonesia. Tuntutan
tersebut diajukan sebagai upaya untuk mengimbangi pendudukan
Belanda di Irian Barat. Sementara itu pihak pemerintah sendiri kemudian
mengeluarkan UU Keadaan Bahaya (1957). 10
Pada tahun tersebut, setiap hari RRI Jember menyiarkan seruan
mogok kerja yang merupakan bagian dari upaya untuk melakukan
11
pengambilalihan semua aset perusahaan perkebunan milik Belanda.
9 ANRI, Koleksi Kabinet Presiden RI, No. Inventaris 1528.
10 Ada dua alasan dinyatakannya negara dalam keadaan perang (staat van
oorlog) dan negara dalam keadaan darurat perang (staat van beleg):
(i) keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau sebagian
wilayah Indonesia dalam keadaan terancam oleh pemberontakan,
kerusuhan atau akibat bencana alam; (ii) timbul perang atau bahaya
perang atau dikhawatirkan terjadi perkosaan atas wilayah Indonesia
dengan cara apapun juga. Lihat pada Erman, Ichtisar Undang-Undang
Keadaan Bahaja 1957 (Jakarta: Tantular, 1957), hlm. 20. Menurut Amin,
tugas kewajiban dan wewenang dalam bidang keamanan seluruhnya
terletak pada Angkatan Perang. Setiap daerah tugas pemeliharaan
dipegang oleh Komando Daerah Militer Tertinggi dan untuk seluruh
Indonesia dipegang oleh masing-masing Kepala Staf, baik itu darat, laut
maupun udara. Para pejabat ini mendapat wewenang yang sangat luar
dan luar biasa, sehingga dalam kenyataannya pejabat tersebut sangat
berwenang mengambil setiap tindakan dengan mengatasnamakan
kepentingan negara. Lihat pada S.M Amin, Indonesia di Bawah Rezim
Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 20.
11 Wawancara Sumargo, 1 dan 2 Juni 2004.