Page 197 - Seluk Beluk Masalah Agraria : Reforma Agraria dan Penelitian Agraria
P. 197
Gunawan Wiradi
(berapa kulian standar) yang mereka kuasai. Namun demikian,
tugas wajib ini bisa diwakilkan kepada warga desa lainnya,
biasanya mereka yang tidak bertanah atau buruh tani si pemilik
tanah. Mereka inilah yang disebut buruh kuli. Sebagai imbalan-
nya, buruh kuli akan mendapatkan 90 ubin sawah dari majikan-
nya. Tanah seluas 90 ubin yang diberikan kepada buruh yang
menggantikan kerja wajib inilah yang disebut sawah buruhan.
Menurut ketentuan UU Agraria colonial 1870, status legal
dari sawah kulian ini adalah “kepemilikan individual yang turun
temurun” (erfelijk individueel bezit). Hak atas tanah ini dapat
diwariskan, tetapi karena tunduk pada pembatasan komunal, ia
berbeda dari hak milik individual (eigendom) dalam konsep
Barat. Secara tradisi, meski hak atas tanah ini bersifat turun te-
murun, namun tidak diperbolehkan menjualnya kepada orang
luar desa. Ketiga pemegang haknya meninggal dan tidak memi-
liki anak laki-laki, tanah yang dikuasainya itu harus dikembalikan
kepada desa yang lantas akan menetapkan siapa pemegang
haknya yang baru. Namun dalam praktik, khususnya setelah
tahun 1870, tanah jenis ini dapat dijual kepada orang luar desa.
Adapun hak pada sawah buruhan adalah hak untuk meng-
garap dan bukan hak untuk menjual. Mengingat tanah jenis ini
secara aktual merupakan bagian dari sawah kulian, maka
pemiliknyalah (kuli baku) dan bukannya buruh kuli yang harus
membayar pajak tanah.
Hak dan kewajiban para kuli baku dan buruh kuli ini, dan
hal-hal lain terkait dengan kepemilikan tanah, mengalami peru-
bahan setelah pelaksanaan apa yang disebut dengan “sistem
pertukaran tenaga kerja” dan “landreform”. Perubahan-peru-
bahan ini akan dijelaskan lebih lanjut pada Sub Bab C2 di bawah.
160