Page 203 - Seluk Beluk Masalah Agraria : Reforma Agraria dan Penelitian Agraria
P. 203
Gunawan Wiradi
wa “tidak ada satu pun masyarakat manusia yang merupakan
entitas yang terintegrasi sepenuhnya. Di setiap komunitas selalu
terdapat bentuk-bentuk protes, baik yang tersembunyi maupun
terbuka, yang menentang struktur hirarkis yang berlangsung.” 7
Protes ini membentuk “counterpoint” yang berfungsi sebagai
suatu “cara integrasi sosial”.
Di desa Ngandagan, bentuk-bentuk protes tidak terlemba-
gakan semata-mata karena tidak ada media tradisional untuk
pengejawentahannya. Protes-protes ini hanya akan terungkap
secara terang-terangan (meskipun hal itu tidak akan menjadi
sebuah konflik yang riil) ketika, misalnya, kita mulai mewawan-
carai penduduk. Sikap dan tindak tanduk beberapa orang di
desa ini memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya tidak setu-
ju dengan struktur baru hubungan perburuhan yang dipaksakan
oleh Lurah. Seperti akan dijelaskan kemudian, struktur baru itu
adalah “sistem pertukaran tenaga” yang pada prinsipnya mene-
tapkan “setiap orang dewasa harus bekerja”. Ketika saya ber-
tanya pada mereka: “Apa pendapat Anda mengenai sistem ini?”
beberapa jawabannya adalah: “Kula niki sing penting nyambut
damel, wonten hasile, pun” (Bagi saya yang penting adalah be-
kerja dan memperoleh hasil, itu saja). Pernyataan ini tampaknya
memang memperkuat prinsip di atas. Namun, di balik jawaban
ini, ungkapan Jawa semacam itu sebenarnya mencerminkan
ketidakpuasan yang, pada saat ini, belum mampu penulis gali
lebih dalam lagi.
7 W.F. Wertheim, “Society as a Composite of Conflicting Value System.”
Makalah pada seksi “Pendekatan-pendekatan Antropologi Sosial”
dalam The Fourth World Congress of Sociology, Stressa, 1959.
166