Page 171 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 171
lebih berbelit. Hal itu tidak lepas dari corak birokrasi Pemda
yang sejak dulu memang lebih berbelit dan feodal.
Keempat, seberapa besar tingkat apresiasi birokrasi di daerah
terhadap perubahan-perubahan tatanan dalam bidang pen-
didikan, serta terhadap berbagai model pendidikan yang dikem-
bangkan oleh masyarakat? Komitmen daerah itu akan terlihat
sekaligus ditentukan dari seberapa besar anggaran keuangan
daerah yang dialokasikan bagi pengembangan pendidikan.
Pertanyaan yang saya kemukakan empat tahun silam itu
j
sekarang memperoleh awabannya. Bahwa ternyata tidak ada
perubahan sikap mental birokrat di daerah dalam mengapresiasi
model-model pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat.
Dari pengalaman memfasilitasi pengembangan pendidikan ling-
kungan hidup (PI-H) di beberapa daerah, yang memungkinkan
perjumpaan dengan Kepala Dinas Pendidikan, ternyata para
Kepala Dinas Pendidikan di daerah itu masih selalu menunggu
(
petunjuk dari atas. Bila dari atas Departemen Pendidikan Nasi-
onal) belum ada petunjuk jelas mengenai perubahan kurikulum
misalnya, Pemda juga tidak berani membuat terobosan baru de-
ngan menerima model-model yang dikembangkan oleh masya-
rakat. Maka yang terjadi sampai sekarang, praksis pendidikan
pada otonomi daerah ini belum mengalami perubahan dengan
praksis pendidikan pada masa Orde Baru dulu. Semua masih
sentralistik.
Demikian pula dalam hal alokasi anggaran pendidikan,
sangat tergantung pada kepedulian kepala daerah. Tapi secara
umum, kepala daerah cenderung tidak peduli. Bahkan di bebe-
rapa daerah di awa Barat, malah pendidikan dijadikan sebagai
J
s u m b e r peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Kota
Yogyakarta pun sejak 2001 mengenakan pajak kepada para calon
pelajar/mahasiswa baru yang datang dari luar DIY sebesar Rp
50.000,- per orang.
Kelima, bagaimana menggali sumber-sumber dana untuk
pengembangan pendidikan, agar di satu pihak, tidak mengham-