Page 173 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 173
akan terwujud. Perubahan itu mesti diusahakan oleh guru sen-
diri.
Jadi dengan kata lain, profesionalisme guru pascaotonomi
itu tidak ukup diukur dari kemampuan mengajar di depan kelas
c
saja, tapi perlu pemaknaan lebih luas lagi. Guru pascaotonomi
daerah sekaligus aktor terjadinya perubahan kebijakan pendidik-
an di daerah. Oleh sebab itu, syarat guru di era otonomi daerah
adalah memiliki watak pembaru. Bila guru tidak memiliki watak
pembaru, maka posisinya akan semakin terjepit karena hubungan
secara fisik antara guru dengan penguasa itu amat dekat sehing-
ga mudah dikendalikan. Tapi guru yang memiliki watak pem-
baru sekaligus prinsip yang kuat tidak akan mudah dikooptasi
oleh penguasa. Juga tidak mudah bergeming, bila digertak oleh
penguasa akan dipindahkan. Tanpa peran guru yang lebih luas
untuk mendesakkan terjadinya perubahan kebijakan pada tingkat
lokal, sulit sekali mengharapkan perubahan kebijakan pendidik-
an pada tingkat lokal.
Fakta juga menjelaskan kepada kita, bahwa suatu daerah
yang guru-gurunya cukup aktif dalam memperjuangkan pendi-
dikan, kondisi pendidikannya jauh lebih baik, karena pengem-
bangan pendidikan tidak hanya tergantung pada birokrat, tapi
juga guru itu sendiri. Kecuali itu, di daerah-daerah yang para
gurunya aktif, Kepala Dinas Pendidikan tidak berani mengambil
keputusan secara serampangan karena hal itu pasti akan menuai
protes dari para guru. Kasus Kampar, terlepas dari permainan
politik di tingkat elite —sehingga yang terjadi di Kampar sesung-
guhnya bukan guru yang berdaya, melainkan guru yang terpe-
daya —dapat dipakai sebagai cermin bahwa keaktifan guru akan
turut menciptakan perubahan kebijakan pendidikan di daerah-
nya.
Tapi mengharapkan guru untuk lebih profesional dalam
menggali sumber-sumber pendanaan pendidikan adalah suatu
hal yang kurang tepat, mengingat peran mereka sebetulnya lebih
pada melakukan pembaruan dalam bidang pendidikan, bukan