Page 46 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 46

y                                                                             • 17:09














             yang  selama  ini  hilang  dari  kehidupan  kita.  Jadi,  pendidikan
             tidak  hanya  diartikan  sebagai  kegiatan  baca  tulis  di  ruangan
             kelas  atau  proses  indoktrinasi  oleh  penguasa  kepada  warganya.

                  Komitmen   pemerintahan   baru  pada  bidang  pendidikan  itu
             tidak  lahir  begitu  saja,  tapi  jelas  merupakan  hasil  refleksi  dari
             perjalanan panjang bangsa  Indonesia,  terutama berlajar dari  para
             pendiri negeri  ini:  bahwa  pergerakan kemerdekaan  di  Indonesia
             tidak  dipelopori  oleh  serdadu-serdadu  dengan  senjata  berupa
             bambu   runcing,  tapi  oleh  angkatan  muda  terpelajar/mahasiswa
             yang  dengan  sikap  kritis  berani  melakukan  perlawanan  kepada
             pemerintah  kolonial.  Kemerdekaan   RI  tanggal  17  Agustus  1945
             pun  bukan  diproklamasikan   oleh  komandan  serdadu,  tapi  oleh
             Soekarno-Hatta   yang  nyata-nyata  merupakan   representasi  dari
             kaum  terpelajar  pada  saat  itu. Sayangnya, peran  kaum  terpelajar
             ini  direduksi  (atau  bahkan coba dihilangkan) oleh alam pemikiran
             militeristik  yang  menempatkan  kekuatan  fisik  sebagai  hal  yang
             dominan.  Wacana   semacam   itu  terutama  sangat  menonjol  pada
             masa Orde Baru, seolah-olah  kaum penjajah  takut dengan bambu
             runcing.

                  Konsekuensi  dari  alam  pemikiran yang mendewakan    keku-
             atan  fisik  dan  kurang  menghargai  nalar  itu  adalah  merebaknya
             budaya   kekerasan  sebagai  mekanisme    penyelesaian  masalah.
             I lampir seluruh  persoalan  pada  masa Orde  Baru  dan  masa  tran-
             sisi  selalu dipecahkan dengan menggunakan cara-cara  kekerasan.
             Rezim  Orde   Baru  dan  rezim  masa  transisi  tidak  pernah  mem-
             berikan  ruang  dialog  dengan  menggunakan    nalar  yang  jernih
             kepada   warganya   untuk  menyelesaikan    persoalan-persoalan
             yang  muncul.   Baik  anggota  legislatif  maupun  eksekutif  tidak
             pernah   bersedia  mendengarkan     suara  rakyat  dengan   baik,
             kecuali  harus  dipaksa  dengan  cara-cara  kekerasan  fisik  pula
             (unjuk  rasa).  Dari  soal  tuntutan  penurunan  harga  hingga  per-
             gantian  presiden  yang  disampaikan  secara  santun  tidak  pernah
             ditanggapi,  kecuali  setelah dengan  cara  unjuk  rasa  dan  menelan
             korban  jiwa.  Rezim  Orde   Baru  juga  terbiasa  menggunakan
             hukum    untuk   melindungi    kekuasaannya    dan   mematikan
   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50   51