Page 8 - Asas-Asas dan Dasar-Dasar Tamasiswa
P. 8
7
hanya “tertib” atau teratur saja, namun sebetulnya taka da rasa “damai”; atau ada rasa
“damai” namun tak dengan peraturan “tertib”. Itulah cita-cita tertib-damai yang abadi.
Bagaimana caranya kita melaksanakan asas ini terhadap anak-anak murid kita barang
tentu kita masing-masing dapat menentukan sendiri, dengan menyesuaikannya dengan
keadaan masing-masing. Misalnya: ketertiban di dalam kelas, yang dicapai dengan
kekerasan, dengan memukul-mukul anak-anak yang ribut, dengan kata-kata yang keras dan
kasar, bukanlah ketertiban yang sejati. Ketertiban yang dicapai cara demikian mengakibatkan
“tertib” namun menimbulkan “kegelisahan” atau menjauhkan “ketenteraman”. Dan
ketertiban yang demikian tidak akan dapat langgeng. Kalau si guru tidak ada, pastilah
kekacauan akan kembali. Lain dari pada itu anak-anak dengan begitu tidak terdidik menjadi
anak-anak dengan begitu tidak terdidik menjadi anak-anak yang berjiwa “tertib-damai”.
Sebaliknya mereka akan menjadi orang-orang yang bertabiat takut dan dihinggapi perasaan
rendah atau “inferioriteitscomplexen”.
Termasuk pula di dalam pasal itu dasar kodrat alam, yang diterangkan perlunya, untuk
mengganti sistim pendidikan cara lama, yang menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman.
Kemajuan yang sejati hanya dapat diperoleh dengan perkembangan kodrati, yang terkenal
sebagai “evolusi” “among system” kita, dalam cara mana guru-guru kita menjadi “pamong”,
yaitu sebagai “pemimpin yang berdiri di belakang” dengan bersemboyan “tut wuri
handayani”, yakni anak-anak didik untuk berjalan sendiri, tidak terus-menerus “dituntun”
dari depan. Dengan begitu maka si “pamong” hanya wajib menyingkirkan segala apa yang
merintangi jalannya anak-anak serta hanya bertindak aktif dan mencampuri gerak-geriknya
apa bila anak-anak sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari bahaya-bahaya yang
mengancam keselamatannya.
Pasal kedua: Di sini masih diteruskan keterangan “dasar kemerdekaan” itu, yakni
dengan ketegasan, bahwa kemerdekaan tadi hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-
anak berfikir, yaitu jangan selalu “dipelopori”, atau disuruh mengakui buah-fikiran orang lain,
akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan
fikirannya sendiri. Begitu pula caranya anak-anak melakukan sikap batinnya, merasa-
rasakannya, memelihara keinsyafannya dan sebagainya, handaknya jangan pula dipelopori,
namun berilah kebebasan secukupnya kepada mereka. Juga dalam mewujudkan kemauannya
menjadi tenaga, janganlah dilakukan paksaan-paksaan atau tekanan-tekanan.