Page 129 - Buku Kemdikbud Ki Hadjar Dewantara
P. 129

menjaga  keserasian  tatatan  sosial  di  kalangan  masyarakat
            Jawa. Di sisi lain, Soetomo memiliki pemikiran bahwa tatanan

            sosial tersebut harus dirombak dan hal itu tidak bisa dilakukan
            secara radikal-revolusioner. Kakek Soetomo, baik dari  garis
            ayah maupun ibunya, tidak masuk ke dalam golongan priyayi
            birokrat, melainkan sebagai pemilik tanah sehingga dipandang
            sebagai orang-orang terkemuka sekaligus sebagai kepala desa di
            desanya masing-masing (Scherer, 1985: 205).
                   Sebelum memasuki usia sekolah, Soetomo diasuh oleh

            kakek-neneknya  dari  garis  Ibu.  Pada  saat  memasuki  sekolah,
            pamannya yang menjadi guru di Bangil. Setelah menyelesaikan
            pendidikan dasar dan menengahnya, Soetomo diterima  di
            STOVIA, sekolah favorit para priyayi rendah. Berbeda dengan
            Tjipto,  Soetomo  telah  mendapat  pengakuan  status  sosialnya
            karena kedudukan  ayahnya sebagai wedana sangat diterima di
            kalangan para siswa Stovia.  Setelah menyelesaikan pendidikan
                                       12
            dasarnya,  pada  1903, Soetomo  menempuh  pendidikan
            kedokteran  di STOVIA dan dapat  menyelesaikannya  pada

            1911 sehingga Soetomo menjadi seorang  dokter. Dalam kurun
            waktu 1911-1919, Soetomo bekerja di tujuh tempat berbeda di
            Jawa, Sumatera Selatan, dan Sumatera Timur, antara lain Blora,
            Semarang,  Tuban,  Lubuk  Pakam,  dan  Malang.  Pada  1912,


            12. Berbeda  dengan  Tjipto,  pengakuan  terhadap  status sosialnya baru
               diterima setelah Tjipto dipandang memiliki prestasi luar biasa di bidang
               ilmu pengetahuan kedokteran. Dengan demikian, pengakuan atas status
               sosial yang diterima  Soetomo berdasarkan  pada nilai-nilai  tradisional
               yang hidup di kalangan masyarakat Jawa, sedangkan Tjipto berdasarkan
               pada nilai-nilai keilmuan (Scherer, 1985: 207).


                                 Tiga Serangkai Dalam Pergerakan Nasional  129
   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134