Page 145 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 145
Langkah kaki saya terhenti. Saya berdiri terpaku di depan
pintu itu. Saya mencoba memikirkan kata-kata yang baik
untuk saya ucapkan nanti.
Entah apakah keputusan yang saya ambil saat ini akan
berdampak besar di hidup saya seterusnya.
Entah…hanya ini yang bisa saya ungkapkan, karena
pastinya, hanya Tuhan yang tahu.
Saya menghela napas panjang, mempersiapkan diri saya,
lalu mengetuk pintu itu. Tidak ada yang menjawab.
Mungkin saja mereka sedang tertidur lelap, dan besok
mungkin adalah saat yang lebih baik untuk…
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Saya bisa
mengenali langkah kakinya, suara yang tidak mungkin
saya lupakan. Pintu itu terbuka, dan dia menatap saya
dengan keheranan. Mirna masih mengenakan piyama
tidurnya, rambutnya sedikit acak-acakan, tapi ditatapnya
saya sekali lagi lalu tersenyum.
“Tumben pulangnya larut begini, sayang,” katanya kepada
saya.
Entah apa yang merasuki diri saya, seketika itu juga saya
memeluk dia, Mirna, istriku. Saya memeluk dia erat, tanpa
mempedulikan rasa herannya dengan sikap saya
tersebut. Saya tidak berkata apa-apa. Lalu dia balas
memelukku, sambil menepuk-nepuk pundakku dan
berkata,
“Sayang ini kenapa sih…kan udah pulang, capek nih…ayo
masuk…”
143