Page 153 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 153
lantai beton di halte. Pak Haryo dan beberapa satpam
lainnya berlari menghampiriku, memegangi tubuhku yang
seperti akan oleng.
Aku berteriak sekeras-kerasnya, air mata tidak henti
mengalir membasahi wajahku, dan mereka mencoba
menenangkanku. Aku memberontak, kakiku menendang
ke segala penjuru dalam posisi duduk tersungkur di lantai
beton, isi tasku jatuh berhamburan di sekitarnya; lipstick,
sisir, dompet dan sejumlah kertas kecil.
Emosiku terus meluap, membuatku tidak lagi peduli
dengan sekitar, entah berapa banyak orang yang
mengelilingiku. Lalu di satu titik, kesadaranku menyerah,
dan pandanganku tiba-tiba menjadi gelap. Dan aku pikir,
saat itu juga Tuhan mencabut nyawaku, melayang jauh
meninggalkan ragaku.
“Akhirnya kamu sadar, Ren,” suara pertama yang aku
dengar.
Berangsur mataku terjaga, mencoba melihat jelas, semua
orang yang aku kenal di hidupku ada di hadapanku, berdiri
dan melihati tubuhku yang terbaring di atas sebuah
ranjang.
Ternyata Tuhan tidak mencabut nyawaku. Aku justru
sadar di rumah sakit. Jarum infus melekat di pergelangan
tangan kananku. Masih berusaha mengumpulkan
kekuatan, aku menatap mereka dan mencoba untuk
tersenyum, seolah semuanya baik-baik saja.
151