Page 155 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 155

“Dia  sudah  enggak  ada,  Ren.  Kamu  harus  belajar
            menerima  semua  kenyataan  ini,”  kata  Lela  yang  ikut
            menangis.

            “Kenapa, La, Tuhan itu tidak adil! Kenapa harus dia yang
            dipanggil duluan! Kenapa, hah?!” teriakku marah.

            Lela diam saja, dan tetap memelukku erat. Malam itu aku
            merasa menjadi perempuan yang paling malang di dunia.
            Andai seseorang bisa melihatnya, hatiku ibarat kaca yang
            hancur  berkeping-keping,  berhamburan  di  tanah.  Setiap
            beling  pecahannya  melukai  siapapun  yang  lewat,
            merasakan sakit yang sama.

            Semua  mimpi  indahku  tentang  kehidupan  berkeluarga
            bersama laki-laki yang aku cintai, malah buyar seketika,
            tinggal mimpi belaka. Pertanyaan ini muncul di benakku,
            di tengah kesedihanku: selanjutnya bagaimana ?

                                     *

            Mita

            Orang  selalu  berpikir  bahwa  menjadi  aku  ibarat  sebuah
            mesin yang tahu segalanya. Aku selalu menampik semua
            pujian mereka yang kuanggap berlebihan dengan alasan
            bahwa aku kebetulan belajar lebih rajin, membaca lebih
            banyak  buku  daripada  beberapa  orang,  dan  itu  yang
            mengantarkan  aku  ke  tempat  yang  sekarang;  menjadi
            seorang dosen di sebuah kampus bergengsi di kota ini.

            “Bulan  yang  planet  kita  miliki  ini  sesungguhnya  adalah
            pecahan batu yang terbentuk 4,5 milyar tahun lalu, dalam
            satu  peristiwa  tubrukan  sebuah  planet  pengembara
                                     153
   150   151   152   153   154   155   156   157   158   159   160