Page 185 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 185

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA



                       Tepatnya tahun 1863 hingga 1864, pemerintah kolonial mulai
                menjalankan politik pengajaran liberal. Tujuan sekolah saat itu bukan
                lagi hanya mendidik calon-calon pegawai, tetapi juga mendidik rakyat
                secara  luas.  Politik  pengajaran  liberal  ini  menghadirkan  dampak
                positif  bagi  kelompok  pribumi,  terutama  terbukanya  kesempatan
                                                                                   7
                bagi anak-anak Indonesia untuk memasuki sekolah-sekolah Belanda.
                       Tidak  hanya  berhenti  di  situ,  pada  tahun  1867  pemerintah
                kolonial mendirikan Departemen Pendidikan. Kebijakan ini disinyalir
                sebagai program lanjutan dari pihak kolonial yang sebelumnya telah
                menyusun undang-undang yang berisi keharusan pemerintah kolonial
                untuk  menyelenggarakan  pendidikan  bagi  kaum  pribumi.  Undang-
                undang  itu  sendiri  sejatinya  telah  dikeluarkan  tahun  1854  ketika
                                                                                  8
                pemerintah kolonial memulai kebijakan liberal di dunia pendidikan.
                       Memasuki  abad  ke-20,  perkembangan  semakin  menarik.
                Adalah  Ratu  Wilhelmina  yang  pada  bulan  September  1901    di
                hadapan dewan Parlemen mengemukakan tentang ‘hutang budi’ dan
                tanggung  jawab  etis  negeri  Belanda  kepada  rakyat  Hindia.
                Pemerintah  Belanda,  menurutnya,  memiliki  “kewajiban  yang  luhur
                                                                                    9
                dan  tanggung  jawab  moral  untuk  rakyat  di  Hindia  Belanda.”
                Kebijakan “politik hutang budi” saat itu ditampilkan sebagai bentuk
                keprihatian  atas  kesejahteraan  bangsa  Indonesia,  sekaligus  untuk
                menggantikan kebijakan sebelumnya yang sangat eksploitatif.
                       Orientasi  baru  dalam  perlakuan  kolonial  terhadap  rakyat
                Hindia inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘Politik Etis’. Di bawah
                Politik  Etis,  educatie  (pendidikan),  irrigatie  (irigasi)  dan  ëmigratie
                (transmigrasi)  menjadi  prioritas  dari  program  kesejahteraan  pihak
                kolonial.  Dari  ketiga  program  itu,  pendidikan  ternyata  dianggap
                sebagai  hal  yang  paling  esensial.  Sejak  itu,  pendidikan  mulai
                menempati posisi penting dalam proses perubahan sosial masyarakat
                Hindia  Belanda,  khususnya  sebagai  sebuah  sarana  untuk
                memperbaiki  kesejahteraan  kaum  Pribumi  dalam  kerangka
                                                  10
                peradaban yang terinspirasi Barat.






                                                                                 173
   180   181   182   183   184   185   186   187   188   189   190