Page 36 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 36

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA


                perumusan  “pembangunan  nasional”.  Dalam  periode  inilah
                Soedjatmoko,  yang  membayangkan  betapa  perlunya  terjadi
                “transformasi  sosial  yang  menyeluruh”  tampil  dengan  dua  nilai
                normatif  pembangunan.  Keduanya  ialah,  pertama  “pembangunan
                sebagai  pembangunan  manusia”  dan  kedua,”pembangunan  sebagai
                pertumbuhan  manusia  dan  peradaban”.  Tetapi  Widjojo  bersama-
                sama kawan-kawannya dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
                telah  mulai  memikirkan  masalah  “pembangunan”  sejak  Indonesia
                masih berada dalam “masa Revolusi” Demokrasi Terpimpin. Dia dan
                kawan-kawannya       langsung    menghadapan       perhatian    pada
                “breakthrough”–  keterlepasan  dari  jebakan  keterbelakangan
                ekonomi.  Ketika  terjadi  perdebatan  antara  pilihan  “  growth”
                (pertumbuhan)  atau  “  equity”  (pemerataan),  ia  dan  kawan-kawan
                lebih  mendahulukan  keharusan  terjadinya  “pertumbuhan”.  Dalam
                masalah  inilah  Mubyarto  ikut  serta  dalam  wacana  masalah
                pembangunan.  Apakah  “pertumbuhan”  harus  melupakan  landasan
                dasar kehidupan kenegaraan, Pancasila? Maka iapun tampil dengan
                gagasan “ekonomi Pancasila”, yang secara praktis berlandaskan pada
                strategi ke arah terjadinya “pengentasan kemiskinan”.
                       Meskipun  tokoh dan pemikir yang  dibicarakan dalam buku
                ini  mempunyai  karir  dan  aktivitas  yang  berbeda-beda  dan  bahkan
                juga hidup dalam zaman yang tidak pula sama tetapi tujuan utama
                mereka sama – mereka ingin menemukan perumusan strategi yang
                tepat dalam usaha memajukan kehidupan bangsa. Bukankah harapan
                ”kemajuan”  yang  diajukan  Dr.A.Rivai  di  awal  abad  ke-20  bisa  saja
                dipakaikan  ke  zaman  sekarang,  meskipun  dalam  bentuk  yang  sama
                sekali  belum  sama  sekali  terbayangkan  satu  abad  yang  lalu.
                Walaupun  ajakan  untuk  memasuki  dunia  pendidikan  yang
                dilontarkan  para  ahli  pendidik  di  awal  pergerakan  kebangsaan  –
                seperti  Ki  Hadjar  Dewantara  atau  Rahmah  el  -Junusyah—kini  telah
                dianggap  hal  yang  biasa  saja,  tetapi  bukankah  ini  menunjukkan
                keabadian  dari  seruan  yang  telah  dikumandangkan?  Bukankah  pula
                masalah     “strategi   pembangunan     nasional”   harus    kembali
                direnungkan  kembali?  Apakah  strategi  yang  sesuai  dengan  situasi
                kesekarangan kita—Indonesia yang telah mengalami berbagai corak
                ujian sosial-politik?




                24
   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41