Page 35 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 35
TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
sejarah Islam, Natsir tampil sebagai seorang pemikir Islam
(kemudian juga terlibat dalam politik) ketika Tjokroaminoto telah
berpulang. Natsir tampil ketika perdebatan “Islam dan nasionalisme”
sedang hangat dan di saat masalah hubungan “Islam dan sosialisme”,
sebagaimana yang pernah dialami oleh Tjokroaminoto, telah
mengendur akibat “peristiwa pemberontakan PKI 1926/1927”.
Sebagaimana selalu dikatakannya, Natsir menganggap dirinya sebagai
salah seorang murid Haji Agus Salim. Bukankah Haji Agus Salim
pelopor dari pembentukan (1925) Jong Islemieten Bond—organisasi
Islam dari mereka yang mendapat pendidikan Barat?
Dalam dunia pendidikan praktis tidak terjadi “perdebatan”,
meskipun terdapat pendekatan yang berbeda-beda. Ketiganya – Ki
Hadjar, Rahmah, dan Syafei—saling menghargai. Kalau Ki Hadjar ingin
memperkenalkan sistem “nasional” dengan isi pendidikan yang
bertolak dari pengalaman dan kearifan tradisi dalam mengharungi
zaman modern, maka Sjafei lebih bertolak dari kemampuan anak
didik mempergunakan “akal, perasaan, dan tangan”. Maka bisalah
dipahami juga mengapa tamatan sekolah INS Kayutanam umumnya
bisa memainkan satu-dua alat musik (paling biasa gitar dan biola)
bertukang, di samping memperlihatkan diri sebagai seorang
terpelajar. Sedangkan Rahmah yang terpengaruh oleh aliran “kaum
muda Islam “ atau biasa juga disebut modernisme Islam, membuka
sekolah “umum berlandaskan Islam” bagi para gadis remaja. Ternyata
yang datang bersekolah ke Dinyah Putri (di kota Padang Panjang)
bukan saja para gadis Minangkabau, tetapi juga dari mereka yang
datang dari Jawa dan bahkan dari Tanah Semenanjung Malaya.
Sekarang tingkatan Diniyah Putri tidak lagi sampai tingkat sekolah
menangah saja,tetapi telah sampai perguruan tinggi.
Meskipun Soedjatmoko telah mulai dikenal masyarakat
sebagai seorang intelektual-pemikir sejak tahun 1950-an dan Widjojo
Nitisastro telah memperlihatkan diri sebagai ahli demografi Indonesia
yang cemerlang sejak awal 1960-an tetapi pemikiran mereka–seperti
juga halnya dengan Moebyarto--semakin diperhitungkan ketika Orde
Baru telah mereka telah langsung terlibat dalam perdebatan dan
2
3