Page 14 - Filsafat Ilmu dan Rekonstruksi Teori - Syarifuddin
P. 14
Kesimpulan-kesimpulan filsafat sangat tergantung pada wawasan dan cara
pandang seorang filsuf dalam memandang realitas yang dalam hampir di segala
dimensinya tergantung pada ruang dan waktu. Sifatnya yang demikian memestikan
kebenaran filsafat itu selalu berada di bawah bayang-bayang sunjektivitas dan
relativitas para filsufnya. Dalam konteks ini, wajar dalam memandang realitas yang
sama, para filsuf pun menunjukkan perbedaan-perbedaan yang meniscayakan
perbedaan pula dalam ajaran filsafatnya.
Istilah filsafat walaupun selalu disinonimkan dengan kata hikmah dan hukama,
(bijaksana dan para bijaksanawan) dalam islam, namun kedua istilah ini tidaklah
persis sama dalam makna dan pengertian sesungguhnya. Al-qur’an sangat banyak
menggunakan kata hikmah dan bahkan secara berulang-ulang telah menyebutkan
bahwa hikmah itu dari Tuhan sebagai pemilik kebenaran yang sempurna. Sebagai
karunia Tuhan hikmah adalah persentuhan akal budi manusia deengan misi
ketuhanan untuk dirinya. Para hikmah biasanya dalam aktivitas pencarian
kebenaran menempatkan dirinya sebagai pencari, bukan sebagai pengambil
keputusan. Semua keputusan datang dari Sang pencipta Allah SWT. Oleh karena
itu dalam mencari kebenaran islam dimestikan mengikutsertakan hukum-hukum
kebenaran ilahi, agar ia dapat mendekati kebenaran hakiki. Hal ini hanya
dimungkinkan jika manusia dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran
tersebut menjadikan akalnya yang fitri sebagai instrumen utama. Hal ini berbeda
dengan filsafat yang merupakan upaya nyata manusia dalam menggunakan akal
budi yang dianugrahkan Tuhan kepadanya, disamping ia mesti menempatkan
dirinya sebagai pencari kebenaran sejati, sekaligus ia mesti mengambil posisi
sebagai penentu dan pengambil keputusan atas apa yang dipikirkan dalam alam
realitas. Kendatipun demikian, jika dalam proses pencarian itu dilakukan dengan
sentuhan akal murni manusia yang azali, ia merupakn fitrah (ciptaan asal) yang
dianugrahkan Tuhan kepada manusia dan diri-Nya, maka tentulah ia akan dapat
pula melahirkan hikmah sebagai lambang kebenaran hakiki, sebagaimana yang
digambarkan dalam firman-firman-Nya.
Kendatipun upaya hikmah dalam islam meniscayakan subjeknya menempati
posisi sebagai pencari kebenaran, namun bukan berarti ia tidak dapat membuat
keputusan akan kebenaran. Hanya saja keputusan yang didapatkan bersifat relatif
dan tidak dapat dibandingkan dengan kebenaran Tuhan yang absolut.
Kemaampuan manusia hanya dapat menjangkau dan selalu ingin menjangkau nilai
kebenaran, kendatipun ia sendiri menyadari bahwa dirinya tidak mungkin akan dapat
menggenggamnya. Di sinilah kelak perlunya seorang filsuf dalam mencari
kebenaran mestin menyandingkan dirinya kepada Sang pemilik kebenaran Sejati
3