Page 19 - Filsafat Ilmu dan Rekonstruksi Teori - Syarifuddin
P. 19
Konsentasi filsafat disini lebih diarahkan untuk menelaah dan atau mengkaji secara
mendalam dan menyeluruh tentang hakikat yang ada dan yang dianggap ada. Jika
fisika membicarakan segala sesuatu yang dapat disentuh oleh pancaindra yang
kebenarannya ditentukan oleh unsur pengamatan di mana pengukuran dan
pengujiannya secara empiris, maka metafisika membincangkan sesuatu yang tidak
terjangkau olehnya. Metafisika terfokus telaahannya pada bidang esensi sesuau
apakah sesuatu benar-benar ada dan apa hakikat sesuatu itu?
Sekilas pertanyaan tersebut dianggap sederhana tetap yang diinginkan oleh
metafisikawan bukanlah sesederhana yang dipikirkan oleh fisikawan. Kaum
fisikawan jika dihadapkan pada pertanyaan tentang realitas suatu bangunan, maka
mereka pun menjawab bahwa itu tidak lain adalah susunan molekul-molekul yang
eksistensinya terdiri dari atom-atom dalam atom terdapat pula elektron, proton dan
neutron dan lain sebagainya. Contoh ini mengilustrasikan bahwa istilah metafisika
dipakai untuk mengungkap masalah-masalah teoritis intelektual filsafat dalam
maknanya yang umum. Oleh karena itu yang termasuk bidang ini adalah kajian yang
menyangkut persoalan kosmologis seperti pertanyaan tentang asal mula dunia,
proses dan perkembangan alam semesta, pembicaraan seputar ketuhanan, seperti
apakah Tuhan itu ada, kekuasaan dan keadilan Tuhan bagaimana proses pikir
tentang adanya Tuhan, bagaimana makhluk bisa berhubungan dengan Tuhan dan
lain sebagainya.
Jadi, jika orang bertanya tetang metafisika ini, maka jawabannya tentu akan
mengarah pada bentuk pengetahuan yang akan memberikan pemahaman akan
perbedaan antara yang riil dan yang ilusi antara pengetahuan yang esensi dan yang
substansi dan empiris sebagaimana apa adanya. Pembicaraan metafisika selalu
bermuara pada pada penemuan hal yang esensi yang berada dibalik dunia riil.
Capaian filsafat metafisika adalah bagaimana melihat sesuatu realitas secara
paripurna, in divinis.
Kendatipun demikian sesungguhnya tidak ada garis batas yang tegas yang
memisahkan antara pengalaman-pengalaman indrawi dan dasar-dasar realitas
pemikiran manusia, sehingga wajar jika dalam beberapa sistem filsafat meyakini
bahwa tidak ada dasar-dasar pemikiran manusia yang tidak tergantung pada dunia
pengalaman. Sebaliknya pengetahuan empiris pun selalu tergantung pada
bagaimana orang memikirkannya secara logis dan sistematis. Kedua sumber ini
saling ketergantungan yang akan membentuk suatu pemahaman akan esensi dan
eksistensi dunia, sehingga kendatipun kedua sumber ini berada dalam maknanya
masing-masing namun dalam pembentukan pemahaman yang arif terhadap segala
sesuatu selalu membutuhkan jalinan relasi keduanya.
8