Page 55 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 55
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
yang telah ada sebelumnya. Kehadiran Islam pada mulanya cenderung berfokus
pada urusan ibadah dan tidak mengubah lembaga-lembaga yang terdapat
dalam masyarakat termasuk adat mereka yang termuat dalam pangngadérréng
(Mattulada 1976: 22–3).
Walaupun Islam menjadi agama kerajaan dan diikuti oleh rakyatnya namun
sesungguhnya berbagai perbuatan dan nilai-nilai pra-Islam masih berjalan
terutama di kalangan bangsawan karena hal itu termaktub dalam pangngadérréng.
Perbuatan tersebut dilindungi oleh penguasa dan pangngadérréng seperti aturan
pelapisan sosial yang di atur dalam wari’, pemujaan terhadap arajang atau benda-
benda pusaka kerajaan, perjudian besar-besaran yang menjadi kegemaran
kaum bangsawan, dan memiliki banyak istri yang menjadi simbol kemuliaan
dan kekuatan serta luasnya jaringan yang dimiliki oleh bangsawan. Walaupun
tampak bertentangan dengan syariat Islam namun sejak awal penerimaan Islam,
keadaan itu tetap dijaga agar perbedaan yang dapat menimbulkan pertentangan
tidak perlu terjadi. Inilah yang menyebabkan Islam dapat mudah berkembang
karena mendapat perlindungan dari para raja dan bangsawan dan berhasil masuk
menjadi bagian dari pangngadérréng (Mattulada 1976: 24).
Para penganjur agama Islam pertama, terutama ketiga mubalig, yaitu Datuk
Sulaiman, Datuk Abdul Makmur, dan Datuk Abdul Jawad, dalam melakukan
dakwahnya hanya tertuju kepada aspek iman dan kebenaran tauhid pada awalnya.
Mereka menyesuaikan ajaran Islam dengan nilai-nilai sosial yang terdapat dalam
masyarakat sehingga dapat diterima dalam pangngadérréng yang kemudian lebih
memudahkan proses sosialisasi ajaran Islam dalam masyarakat. Para penganjur
itu memandang bahwa dalam proses dan perjalanan waktu, nilai-nilai Islam dapat
mengubah kebiasaan yang tidak sesuai dalam pangngadérréng. Sejalan dengan
waktu, proses yang intensif itu berhasil dengan sangat baik karena masyarakat
Bugis dan Makassar kemudian mengidentifikasikan diri mereka dengan Islam.
Dalam pergaulan sosial akan muncul pandangan yang janggal jika terdapat
orang Bugis atau Makassar yang bukan pemeluk Islam karena akan dianggap
menyalahi pangngadérréng sehingga menyebabkan dirinya akan dianggap asing
dalam lingkungan dan masyarakatnya (Mattulada 1976: 24).
39