Page 60 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 60
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
Perjalanan Bau Leko dan Bau Jala tersebut dapat dikatakan menjadi awal dari
perkembangan pengaruh Luwu atas wilayah lain di luar batasan negeri Luwu.
Bau Leko berjalan menembus rimba dan gunung sehingga sampai ke sebuah
tempat yang sangat jauh dari Luwu dan meminta izin kepada kepala suku yang
disinggahinya untuk mendirikan pondok. Kepala suku mengatakan bahwa kalau
Bau Leko ingin mengambil tanah dipersilakan untuk mengambil wilayah rawa di
sekitar lokasi tersebut seluas apa pun yang dia kehendaki. Alkisah, mendengar
hal itu, Bau Leko menerimanya dan menaburkan segenggam tanah bangkala
atau tanah keramat yang dibawanya dari Luwu sehingga dalam tujuh hari tujuh
malam terjadi keajaiban yang membuat tanah rawa mengering. Mengetahui
hal itu, kepala suku terperanjat apalagi setelah mengetahui bahwa Bau Leko
adalah bangsawan tinggi Luwu sehingga membuat dirinya segera menghadap
dan bersujud memohon maaf kepada Bau Leko. Kepala suku tersebut kemudian
mengangkat Bau Leko menjadi raja mereka. Wilayah tempat rawa tersebut
dinamakan Palu berasal dari kata topalue yang dalam bahasa Wotu bermakna
‘tanah yang terangkat dan mengering’ (Amir dalam Sumantri [ed.] 2006: 242).
Kini, lokasi itu menjadi pusat ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah.
Adapun saudaranya, yaitu Bau Jala, memilih berlayar ke arah selatan setelah
memohon restu kepada saudara tertuanya Bau Kuna. Dikisahkan bahwa perahu
Bau Jala melesat bagaikan anak panah hingga akhirnya kandas atau dalam bahasa
Wotu disebut buttu di suatu daratan yang sekarang dikenal sebagai ‘Butung’ atau
‘Buton’. Seperti halnya kakaknya di Palu, Bau Jala pun ditabalkan oleh rakyat
setempat menjadi penguasa di wilayah tersebut (Amir dalam Sumantri [ed.]
2006: 242).
Kisah versi Wotu tersebut menghubungkan Luwu yang diwakili oleh Wotu
dengan dua wilayah yaitu Palu dan Buton. Silsilah penguasa pada ketiga wilayah
itu pada tiga generasi memiliki persamaan dengan kisah Galigo yang menjadi
pegangan masyarakat Luwu dan Bugis. Namun, pada versi Wotu terdapat
perbedaan pada urutan generasi keempat dan kelima yang menghubungkan
Luwu (Wotu) dengan Palu dan Buton. Di sini, disebutkan silsilah para penguasa
Luwu, Palu dan Buton mengikuti versi Wotu, yakni Pua Motanru Bulawae ‘yang
bertanduk emas’, merupakan ayah dari La Patiganna atau Sangkuruwira. La
Patiganna kemudian menikah dengan Latte Isomba Tawallangi dan berputra
44