Page 58 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 58
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
Dalam tradisi lisan di Wotu, salah satu dari sejumlah anak suku yang terdapat
di Luwu, yang memiliki bahasa ibu sendiri yaitu bahasa Wotu (Salombe 1986),
masyarakatnya meyakini bahwa wilayah mereka, yaitu Bukit Lampenai yang
terletak di sebelah timur Wotu, merupakan tempat kali pertama Batara Guru
turun dari langit mengajarkan manusia bercocok tanam. Lokasi tersebut disebut
bilasa lamoa atau ‘kebun dewata’ dalam bahasa Wotu (Amir dalam Sumantri [ed.]
2006: 238–9; BMAW 2003). Bahasa Wotu merupakan lingua franca atau bahasa
komunikasi yang digunakan di kawasan pesisir utara Teluk Bone, sebagian
Sulawesi Tengah hingga Kabupaten Poso dan sekitarnya dan di Buton di Sulawesi
Tenggara. Pelras berpendapat bahwa bahasa Wotu adalah bahasa asli Luwu dan
penuturnya adalah pewaris budaya Luwu sesungguhnya.
Tradisi lisan masyarakat Wotu yang dikenal dengan istilah Surra Mattua
menarik garis silsilah mereka kepada tokoh Batara Guru yang diyakini sebagai
utusan langit pertama yang turun ke bumi untuk membawa ketenteraman dalam
masyarakat. Kisah tersebut memiliki persamaan dengan kisah yang terkandung
dalam kitab La Galigo yang memuat kisah asal-usul penguasa Luwu dan Bugis
namun terdapat satu versi yang berbeda yang memuat tentang keberadaan
keturunan Batara Guru dalam versi orang Wotu. Versi tersebut tidak terdapat
dalam versi Bugis yang memuat kisah mengenai perkembangan Kedatuan Luwu
versi Wotu (Amir dalam Sumantri [ed.] 2006: 240–1).
Kisah mengenai nenek moyang orang Wotu disebutkan dalam dua periode
masa seperti halnya kisah dalam lontara Luwu yaitu periode mula ito mamulae
atau periode ‘manusia awal’ untuk menyebutkan masa kehadiran Batara Guru
dan periode mula ito ganna duanggoe atau ‘permulaan manusia kedua’ yang
mengacu kepada masa kepemimpinan Simpurusiang (Amir dalam Sumantri [ed.]
2006: 240). Versi Wotu mengisahkan bahwa Patotoq e ri Bottinglangi atau dewata
tertinggi mengutus putranya Batara Guru untuk turun ke bumi dan memimpin
masyarakat di Luwu. Kehadirannya disertai dengan singgasananya yang terbuat
dari bambu emas, tujuh orang oro, istana, menyusul perlengkapan perang dan
peralatan lainnya. Batara Guru dianggap sebagai penguasa Luwu pertama yang
memperkenalkan dan mengajarkan pertanian kepada rakyatnya. Orang Wotu
mengangap dirinya sebagai keturunan Batara Guru dengan mengambil silsilah
dari cicit Batara Guru yaitu Simpurusiang atau Simpurusia. Simpurusia adalah
42