Page 102 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 102
Para pejabat Belanda, terutama di Fort Victoria, membiayai
sejumlah penerjemah (translateur) untuk tugas-tugas
menerjemahkan surat-surat itu dan menulis surat-surat
balasannya. Terutama surat-surat kepada para pemimpin
negeri-negeri Islam membutuhkan penerjemah khusus yang
menguasai bahasa Melayu serta aksara Arab. Hingga bagian
pertama abad ke-19 para translateur itu diambil dari penduduk
Kampung Makasar di kota Ambon.
Salah seorang translateur dari awal abad ke-19 yang sangat
terkenal adalah Daeng Rapahan yang oleh Belanda lebih
dikenal sebagai Guruw Primo. Pada tahun 1838 ia diganti oleh
H. Usman. Selain itu Belanda juga mempekerjakan orang-
orang lain dari Kampung Makasar untuk mengantarkan surat-
surat itu ke tempat-tempat yang jauh. Para pengantar surat
itu kebanyakan adalah pedagang yang selain membawa surat
juga berdagang untuk kepentingan sendiri. Sejak pertengahan
abad ke-19 ketika Belanda meluaskan sistem pemerintahannya,
dan orang-orang Kampung Makasar terdesak sama sekali
sebagai translateur karena digantikan oleh para pegawai
Bahasa dari kalangan orang Belanda sendiri. (Leirissa, 1993).
Sebagai contoh penggunaan bahasa Melayu di kalangan
penduduk negeri-negeri Kristen berikut ini dikemukakan
kutipan dari sebagian dari sebuah surat dari para penguasa
negeri di kepulauan Uliase (Haruku, Saparua, Nusalaut) kepada
Residen Saparua. (Leirissa, 1981) :
Saparoea ada 3 Mei 1869
Perhimonan sabitjara Radja2 Patty deri Uliassers,
menjatakan dengan banjakh kerindahan dan hormat
kepada tuwan Feijtaur deri Saparoea dan Haroekoe
Bahuwa menurut itu conphrentie jang bermula kaly
di negery Waay awleh tuwan Gubemadaur deri pulau2
Maluko serta Radja2 Patty deri Uliassers pada harry
djumaat 22 April jbl.
86