Page 107 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 107
"Sudahkah Tuan membaca buku itu?"
"Sudah Tuan."
"Apakah cara berbahasa memang seperti itu ?"
"Tidak Tuan."
"Kalau bukan bahasa Melayu, bahasa apakah itu ?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Hanya Allah dan penulisnya
yang tahu bahasa apa yang digunakan di situ."
Sifat khas dari bahasa Melayu yang digunakan dalam
masyarakat Kristen di Maluku Tengah dalam abad-abad yang
lalu kini mulai mendapat perhatian para peneliti. James Collins,
ahli linguistik dari University of Hawaii yang telah dikutip di
atas, merupakan salah seorang pelopomya. Mengenai bahasa
Melayu yang digunakan untuk menulis khotbah-khotbah dalam
abad ke-17, Collins mengatakan: "lni merupakan sejenis bahasa
Melayu yang kaya dalam morfologinya, diperjelas dengan sistem
paragraf dalam bahasa Belanda, penuh dengan kiat-kiat retorik,
penuh dengan kata-kata pinjaman terutama dari bahasa-
bahasa Asia, dan kalimat yang telah arkais dan sebab itu
menjadi aneh." (Collins, 1992: 104).
Collins mempelajari kitab kumpulan khotbah dari Pendeta
Franchois Caron (lahir 1634) yang menjadi pendeta di Ambon
selama 13 tahun (1660-1673). Sekembali di Negeri Belanda ia
menerbitkan kumpulan khotbah-khotbahnya dalam tiga buku.
(Collins, 1992: 101). Pertama adalah buku yang diterbitkan
tahun 1678 dengan judul Tsjeremin acan Pegang Agamma (286
halaman), kedua berjudul Adjaran dalam jang manna jadi
Caberadjar Capalla Capallanja derri Agamma Chistaon (1682),
dan ketiga berjudul Djalang ca Surga (1683).
Mengenai bahasa Melayu yang digunakan, Caron
mengatakan sebagai berikut (Collins, 1992: 102) :
Liatlah dalam Tseremin ini, tsjara appa patut pitsaja, idop
daan menjomba, acan djadi moumin, samoa Melayo mass-
ing, catoudjo dengan wactou, tampat daan orang Ambon:
boucan agar tsjari namma deri apa bahassa tinggi, atoran
pandei sacali-cali, daan issinja ca dalam, acan bacaboul
pada orang acal jouga, daan sjappa meng'arti bahassa trus,
tetapi agar bouca trang. Adjaran Christaon dan peara
camou orang.
91