Page 104 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 104
Bahwa Bahasa Melayu dengan aksara Arab berkembang di
kalangan penduduk negeri yang beragama Islam dapat
dipahami, sekalipun dalam soal ini perlu juga diadakan
penelitian yang saksama. Sebagai bagian dari tradisi
perdagangan mereka, seperti juga di Maluku Utara, terkait
dengan budaya pesisiran yang berintikan bahasa Melayu itu.
Tetapi keadaannya berbeda dengan penduduk negeri-negeri
Kristen di Maluku Tengah. Sekalipun mereka juga merupakan
produsen cengkeh yang penting seperti penduduk negeri-negeri
Islam, perkebunan cengkeh di kalangan mereka (terutama di
kepulauan Uliase) tidak terkait dengan dunia perdagangan
pesisiran tersebut. voe-lah yang memprakarsai penanaman
cengkeh di Uliase, dan produksinya tidak pernah dialirkan
melalui jalur perdagangan pesisiran itu tetapi langsung dikelola
oleh voe sendiri.
Dalam berkomunikasi voe juga menggunakan bahasa
Melayu dengan penduduk Uliase tersebut. Dengan demikian
muncul pertanyaan, pertama, mengapa voe memilih bahasa
Melayu sebagai alat komunikasi politik, dan kedua, mengapa
dan bagaimana bahasa Melayu berkembang juga di kalangan
negeri-negeri Kristen yang tidak terkait dengan jalur-jalur
perdagangan dan budaya pesisiran tersebut.
Peran utama dalam penyebaran penggunaan bahasa
Melayu di kalangan negeri-negeri Kristen adalah pihak gereja
yang telah mengadakan kegiatannya di wilayah ini segera
setelah voe merebut benteng Portugis di Ambon pada tahun
1605. Bahwa pilihan jatuh pada bahasa Melayu nampaknya
tidak jelas, karena bahasa-bahasa lokal, seperti dikemukakan
di atas, terlalu beraneka ragam sehingga tidak praktis untuk
digunakan bagi suatu kegiatan yang terkonsentrasi.
Setelah menguasai seluruh kepulauan Uliase dan pulau
Ambon, voe selain menegakkan kekuasaan politiknya melalui
benteng-benteng dan aparat pemerintahan, juga mendukung
pihak gereja membangun gereja-gereja dan sekolah-sekolah.
Dengan demikian, dalam abad ke-1 7 berangsur-angsur setiap
negeri Kristen memiliki gereja dan sekolahnya sendiri. Sampai
88