Page 105 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 105
bagian kedua abad ke-19 sistem pendidikan tersebut adalah
bagian integral dart gereja; sekolah menyiapkan anak-anak agar
bisa membaca Kitab Injil dan mengikuti khotbah di gereja
(selain pelajaran membaca dan menulis, ada juga pelajaran
berhitung). Bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah itu adalah
bahasa Melayu yang menggunakan aksara Latin.
Selain itu sejumlah pendeta yang berbakat juga menulis
khotbah-khotbahnya dalam bahasa Melayu sehingga bisa
digunakan oleh penggantinya. Kepentingan menulis khotbah-
khotbah itu makin terasa ketika pada bagian pertama abad
ke-19 dibuka sebuah Seminart untuk mendidik pekerja agama
dart kalangan penduduk sendiri.
Selain itu, sudah sejak awal abad ke-17 bagian-bagian dart
kitab lnjil juga mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
Namun baru pada abad ke-18 muncul sebuah terjemahan
lengkap dari Kitab Injil berbahasa Melayu. Penerjemahan itu
adalah hasil karya dari Dr. Melchior Leydecker yang pertama
kali diterbitkan pada tahun 1733. Terjemahan ini (dikenal
sebagai terjemahan Leydecker) kemudian mengalami berkali-
kali cetak ulang dalam abad kel9. (Swellengrebel, 1978).
Sekalipun kemudian terdapat terjemahan-terjemahan lain yang
digunakan di wilayah-wilayah lainnya, namun karena satu dan
lain sebab, penduduk Maluku Tengah tetap menggunakan
terjemahan Leydecker hingga paroh pertama abad ke-20.
(Leirissa, 1994).
Sesungguhnya kecuali Leydecker, Francoise Valentijn,
seorang pendeta yang telah lama bertugas di Ambon juga
mengambil prakarsa untuk menerjemahkan seluruh Kitab Injil
yang terdiri dari dua bagian itu. Tetapi karena Leydecker
mendapat penugasan dari pemerintah dan didukung oleh
pimpinan gereja di Negeri Belanda, maka terjemahan Valentijn
tidak pernah diterbitkan.
Masalah ini menarik karena menyangkut permasalahan
bahasa. Valentijn, seperti dikemukakan sendiri, menggunakan
apa yang dikenal sebagai Melayu rendahan, yang banyak
89