Page 118 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 118
status ketiga bagian wilayah itu menjadi rendah, yaitu dengan
sebutan residentie. (Leirissa, 1971). Residensi Ternate dikepalai
seorang residen yang berkedudukan di Ternate, Residensi
Ambon dikepalai seorang residen yang berkedudukan di
Amboina dan Residensi Banda dikepalai seorang residen pula
yang berkedudukan di Bandaneira. Yang membawahi ketiga
residensi adalah seorang Gouvernur yang berkedudukan di
Ambon.
Sistim administrasi pemerintahan ini berlangsung sampai
akhir pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942, yang
kemudian diganti oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pada
saat itu daerah Maluku merupakan salah satu dari empat
wilayah pemerintahan di Indonesia Timur yang dibentuk
pemerintah Jepang. Keempat wilayah itu adalah Kalimantan
dengan ibukotanya Banjarmasin, Sulawesi dengan ibukotanya
Makassar, Nusa Tenggara dengan ibukotanya Bali dan Maluku
dengan ibukotanya Ambon. Keempat wilayah ini berada di
bawah komando Angkatan Laut Jepang yang disebut Kaigun.
Masing-masing wilayah tersebut dikepalai seorang Gubernur
Militer.
Di bawah Gubernur militer terdapat aparat-aparat peme-
rintahan sipil yaitu Minseibu Chokan yang merupakan semacam
kepala daerah yang berkedudukan di Ambon, Ternate dan Tuai.
Sejak zaman Jepang itu, Tuai yang berada di pulau Kei
mulai diaktifkan sebagai pusat kegiatan pemerintahan di
tingkat lokal. Selain itu Tuai juga diarahkan sebagai pusat
perkembangan budaya dengan cara mengajarkan nyanyian-
nyanyian Jepang, tarian Jepang dan olahraga ala Jepang di
sekolah-sekolah. Tuai kemudian merupakan salah satu pintu
gerbang ke Maluku Tenggara sehingga di sini terjadi kontak
antara berbagai corak kebudayaan.
Kebudayaan asli di daerah Maluku Tenggara sendiri belum
diketahui dengan pasti, namun diperkirakan pada dasarnya
kebudayaannya hampir sama dengan kebudayaan penduduk di
Nusa Tenggara Timur, Timor Timur, Maluku Tengah terutama
Seram Timur sampai ke Kepulauan Gorom, Kuur, Kesui dan
102