Page 51 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 51
Diantara tahun 1625-1655 seluruh daerah Hoamoal yang
oleh Portugis disebut Veranula (semennanjung Seram Barat di
seberang Hitu), yang sebelumnya merupakan suatu daerah
yang cukup padat penduduknya dan banyak kebun-kebun
cengkehnya, dirusakkan dan dikosongkan sama sekali oleh
hongitochten tersebut.
Akibat selanjutnya dari situasi tersebut banyak dikelompok
masyarakat telah kehilangan kemerdekaannya. Dalam banyak
hal kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan dari pihak
kolonial lebih diprioritaskan sebaliknya lembaga-lembaga sosial
masyarakat seperti lembaga adat, saniri negeri, kehilangan
fungsinyaa dan terpaksa menjalani fungsi-fungsi baru, fungsi-
fungsi yang asing baginya seperti hongitochten tersebut.
Dalam lembaga-lembaga pemerintahan negeri telah
mengalami pula pengaruh dan perobahan-perobahan yang
drastis. Politik pemecah belah (de vide at impera) yang
dijalankan pemerintah kolonoal Belanda menyebabkan
masyarakat-masyarakat negeri berkembang menjadi satuan-
satuan yang berdiri sendiri. Perkembangan ini mengakibatkan
meningkatnya perasaan otonomi sehingga terlepaslah masing-
masing negeri dari negeri yang lainnya. Hal ini telah
menghambat perkembangan lembaga-lembaga pemerintahan
dan politik yang lebih luas, yang dahulu mulai berkembang
dalam sistem uli dan "Empat Perdana". Kepentingan penduduk
diarahkan pada persekutuan negerinya sendiri, akibatnya
egosentrisme dan lokalisme menjadi tebal dalam kesadaran
masyarakat Maluku terutama di Maluku Tengah pada orang-
orang Ambon dan Lease.
Lembaga-lembaga keagamaan mengalami perobahan juga.
Pengaruh agama Kristen maupun Islam yang diterima
penduduk agak dangkal dan formalistik (Radjawane: 1955). Hal
ini ditambah pula dengan anggapan bahwa masing-masing
agama mempunyai hubungan erat dengan kekuasaan politik
dewasa itu. Kristen dengan kekuasaan Portugis dan Belanda,
sedang Islam mempunyai hubungan erat dengan Temate dan
Tidore dan beberapa kerajaan lainnya di Nusantara bagian
36