Page 95 - Kumpulan Cerita Rakyat Pamona, Sebuah Intepretasi Baru
P. 95
yang tidak lepas dari keseharian di bangku sekolah,
kecuali hari Jum’at dengan atasan kemeja batik atau hari
Sabtu dengan seragam olahraga. Aku malah ingin cepat-
cepat pindah dari Sulawesi, pergi ke kota lain yang lebih
hidup dan menawarkan fasilitas modern yang mumpuni.
Ah! Anginnya terasa sejuk, matahari juga tidak terlalu
terik. Aku berbaring di atas batu yang cukup besar, lebih
dari cukup untuk menampung seluruh badanku, tepat di
bawah pohon kersen. Sesekali cahaya matahari yang tidak
terlalu panas itu menyelinap masuk, menyentuh
permukaan kulitku, tetapi tidak terasa perih. Gerak
ranting pohon kersen dan suara-suara tenang di sekitarnya
membuat mataku perlahan terpejam, larut dalam tidur dan
khayal….
*
“Wangu 124 !” teriak suara itu. Aku masih asyik dalam
lelapku mendengar suara sayup-sayup yang asing itu.
“Tekiwoimo yorenya 125 ,” kata suara yang lain.
Sebuah benda tumpul seperti ditekankan ke pinggangku
berkali-kali, memaksaku bangun dengan kesal.
“Kenapa sih?” tanyaku lagi. “Kita sudah mau pulang ya?”
Orang-orang di hadapanku bingung melihatku. Mereka
adalah empat orang laki-laki; dua seusiaku, dan dua lagi
lebih tua, kesemuanya tidak mengenakan baju, hanya
124 Bangun
125 Sudah sadar dari tidurnya
91