Page 37 - Perempuan Dalam Gerakan Kebangsaan
P. 37

Dra. Triana Wulandari, M.SI., dkk. (eds.)

                ayah Republik Indonesia daripada penyelesaian kultural. Dengan
                menafikan adat ‘bangsa’-’bangsa’ berarti Pemerintah NKRI tidak
                mendahulukan Sam Ratulangi, dan lainnya.

                     Ketika itu, mereka mengakui berbangsa Indonesia, ketika
                bersama-sama melawan penjajahan dan ketika bersama-sama
                memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, namun apakah Bangsa
                Indonesia masih ada ketika penjajahan sudah lenyap? Apakah Bangsa
                itu masih ada ketika cita-cita Proklamasi dikhianati? Apakah Bangsa
                itu masih ada, ketika sebagian kecil rakyat sejahtera, sementara
                sebagian besar masih miskin, bodoh, dan menderita? Karena itu,
                dalam skala Indonesia, emansipasi ‘pimpinan’ Bangsa yang mampu
                menyatukan ‘bangsa’ - ‘bangsa’ dalam arti persatuan bukan peleburan
                hingga kini masih relevan untuk diperjuangkan. Hanya pemimpin
                yang demikianlah yang akan membawa rakyat kepada kehidupan
                politik yang terikat pada Sumpah Pemuda 1928, tapi tetap merdeka
                secara lahir-batin, dan merdeka secara sosial-politik dalam wilayah
                kesatuan Republik Indonesia.
                     Hakikat sebuah ‘nasion’ menurut Kartini harus dipahami oleh
                para pemimpin (Ningrat) sebagai sebuah itikad baik yang
                mewujudkan harkat martabat rakyat, masih relevan dibicarakan,
                mengingat belum dilaksanakannya dengan baik dan benar pasal 18
                dan pasal 33 UUD 1945.

                     Selama berabad-abad rakyat Nusantara menderita amnesia
                sosial dibelenggu oleh budaya opresif kolonialisme VOC dan
                Neo-kolonialisme Hindia Belanda. Oleh karena itu, Surat dan Nota
                Kartini; masih relevan untuk berfungsi sebagai memori kontra afektif
                untuk membangkitkan kembali memori afektif perjuangan
                kebangkitan bangsa 1928 tatkala memori tersebut sudah mulai
                mmudar dan keutuhan bangsa Indonesia mulai rapuh.
                     Kemerdekaan 1945 sebagai Jembatan Emas, juga harus
                diposisikan sebagai memori kontra afektif bagi ‘bangsa’ Jawa dan


                                              5 5
   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42