Page 34 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 34
pimpinan Jawa masih mudah memegang konsep ungkapan rubuh-rubuh gedhang,
artinya mengikuti arus melulu biarpun tidak bermoral. Buktinya, banyak rekening
gendut para anggota polisi dan hakim. Kondisi ini menunjukkan bahwa moralitas
kepemimpinan Jawa yang santu, bersih, jujur dan tanggung jawab diabaikan.
Moralitas Jawa yang mampu menjawab, apakah seorang pimpinan akan
bertahan dalam suasana kotor atau bersih. Sungguh akan menjadi tantangan berat
bagi seorang pimpinan yang moralitasnya rendah. Moralitas rendah menandai
jiwanya sedang berada pada tataran terhina. Moral merupakan cerminan jiwa yang
benar-benar cemerlang. Moral pimpinan yang bagus, tentu akan taat pada janji,
tidak menyelewengkan wewenang, tanggung jawab, dan tidakmerugikan pihak lain.
Dengan kata lain, benteng moral sangat penting bagi seorang pimpinan yang ingin
langgeng kedudukannya.
C. Moralitas dan Ilmu Rasa dalam Kepemimpinan Jawa
Ilmu rasa dalam kepemimpinan Jawa amat diperlukan. Rasa Jawa itu sebuah
dilosofi hidup yang halus. Jika rasa ini dikembangkan, para pimpinan akan mampu
menyelami rasa yang dimiliki bawahan. Suryamentaram (1990:29) memaparkan
panjang lebar bahwa ilmu rasa Jawa itu tidak lain merupakan raos gesang, artinya rasa
hidup. Rasa hidup itu ditandai dengan bergerak dna berubah. Pimpinan yang
menguasai raos gesang, akan berusaha agar mampu mengubah keadaan. Ilmu rasa
akan membangkitkan kerja pimpinan semakin percaya diri.
Rasa yang paling utama dalam kepemimpinan yaitu, (1) Bisa rumangsa dan bukan
rumangsa bisa, artinya pimpinan tidak merasa mampu apa saja. Filosofi ini sering
membuat orang terlalu percaya diri, namun jika terlalu berlebihan akan menjadi
sombong. Jika rasa ini dapat dikelola, pemimpin akan mampu bersikap rendah hati; (2)
Angrasa wani, artinya pimpinan yang berani menghadapi resiko apa pun yang
dibebankan (diamanahkan). Pimpinan yang tidak berani mengambil resiko, biasanya
lamban dalam mengambil keputusan; (3) Angrasa kleru lan bener tur pener. Artinya,
pimpinan yang baik adalah mampu menyadari bila keliru dalam berbuat. Begitu
sebaliknya, pimpinan yang baik tentu dapat merasa bahwa yang dilakukan itu benar
dan tepat. Keputusan yang baik, selain harus sesuai aturan juga tepat.
Falsafah rasa banyak terkait dengan pribadi seseorang. Rasa dapat memmbingkai
kejiwaan pimpinan. Orang yang rasa Jawanya tinggi, tentu tidak akan keras kepala
dalam memimpin. Filosofi kepemimpinan Jawa terkait dengan kepribadian orang Jawa.
Falsafah hidup yang dipegang para pimpinan selalu menunjukkan kekhususan. Orang
Jawa memang memiliki tradisi yang melingkupi jagad kepemimpinan. Rasa selalu
membekali orang Jawa ketika memutuskan sesuatu. Pimpinan jelas akan mengambil
putusan apa saja. Kepemimpinan orang Jawa itu memiliki kekhasan. Biarpun ada yang
tidak sependapat kalau kepemimpinan Jawa itu memiliki sifat halus, penuh hati-hati,
dan tidak mau konflik, realitasnya memang demikian. Orang Jawa memimpin tidak
hanya dengan pikiran, tetapi memanfaatkan rasa. Kepemimpinan Jawa jelas banyak
mengolah rasa Jawa. Rasa itulah ruh budaya Jawa. Pemimpin Jawa tentu memegang
teguh budaya Jawa. Banyak generasi muda sekarang tidak memahami budaya Jawa.
Dalam era globalisasi sekarang ini bahasa Inggris boleh saja dipelajari, tetapi bahasa,
budaya Jawa, dan filosofi Jawa tetap perlu didalami agar tidak hilang ditelan zaman.