Page 30 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 30
BAB III
MORALITAS KEPEMIMPINAN JAWA
A. Amanah Moral Sang Raja
Amanah adalah perintah (dhawuh), yang memuat tugas dan kesanggupan moral.
Amanah adalah kewenangan pimpinan sesuai dengan kitah raja. Kerajaan adalah
potret tatanan moral simbolik yang adiluhung. Dari sisi antropologi budaya, keraton
selalu meletakan legitimasi sebagai sebuah amanah moral. Semakin tinggi tingkat
legitimasi keraton, tatanan moral akan dianut oleh warga. Dalam pandangan Geetz
(1992:145) secara antropologis legitimasi itu merupakan upaya pimpinan menguasai
orang lainnya. Penguasaan tersebut diakumulasikan dengan tatanan moral.
Sri Sultan HB X (2010) adalah sosok pemimpin kerajaan Jawa, yang telah berhasil
mengikuti perkembangan jaman, tetapi tetap memperhatikan tatanan moral. Sang raja
selalu menegaskan dalam berbagai pertemuan dengan warga masyarakat bahwa
masalah kepemimpinan Jawa tampaknya masih sangat relevan untuk dikaji dan
diaktualisasikan dalam era global sekarang. Tentunya, dengan beberapa sentuhan
yang benar-benar disesuaikan dengan tuntutan, tantangan, dan saat yang tepat untuk
penerapannya. Falsafah Kepemimpinan Jawa sendiri sebenarnya dapat kita telaah dari
ajaran Manunggaling Kawula Gusti, yang mengandung dua substansi, yakni
kepemimpinan dan kerakyatan. Hal ini dapat ditunjukkan dari perwatakan patriotis Sang
Amurwabumi (gelar Ken Arok) yang menggambarkan sintese sikap bhairawa-anoraga
atau ‘perkasa di luar, lembut di dalam’.
Kepemimpinan raja memang memiliki kekhususan. Raja adalah sentral
pengambilan keputusan. Hal ini dimanifestasikan dalam sikap yang selalau menunjuk
dan berakar ke bumi, atau bhumi sparsa mudra. Intinya adalah kepemimpinan yang
berorientasi kerakyatan yang memiliki komitmen setia pada janji, berwatak tabah,
kokoh, toleran, selalu berbuat baik, dan sosial. Dalam sebuah seminar tentang
Kepemimpinan di Milenium III, beberapa waktu lalu, saya pernah memaparkan prinsip-
prinsip kepemimpinan Sultan Agung, diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing, yang
memuat tujuh aturan moral. Tujuh aturan itu merupakan wujud pimpinAN Jawa sebagai
amanah. Karya besar ini merupakan akumulasi ajaran moral kepemimpinan sang raja
Mataram.
Pertama, Swadana Maharjeng-tursita, seorang pemimpin haruslah sosok
intelektual, berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu menjalin komunikasi atas
dasar prinsip kemandirian. Kedua, Bahni -bahna Amurbeng- jurit, selalu berda di depan
dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran. Ketiga,
Rukti-setya Garba-rukmi, bertekad bulat menghimpun segala daya dan potensi guna
kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa. Keempat, Sripandayasih- Krani,
bertekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya
manfaat bagi masyarakat luas. Kelima, Gaugana- Hasta, mengembangkan seni sastra,
seni suara, dan seni tari guna mengisi peradapan bangsa. Keenam, Stiranggana-Cita,
sebagai lestari dan pengembang budaya, pencetus sinar pencerahan ilmu, dan
pembawa obor kebahagiaan umat manusia. Ketujuh, Smara bhumi Adi-manggala,
tekad juang lestari untuk menjadi pelopor pemersatu dari pelbagai kepentingan yang
berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian di mayapada.