Page 28 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 28

D. Falsafah Kepemimpinan Suket teki
                     Suket teki berarti nama rumput, seperti padi pendek. Sengaja pada tulisan ini
               dipakai istilah suket teki, bukan rumput teki. Istilah ini saya pinjam dari sebuah novel
               berjudul  Suket  Teki,  yang  saya  tulis  tahun  1986.  Novel  ini  telah  memenangkan
               sayembara  menulis  novel  di  PKJT,  Yayasan  Citrapariwara  Jawa  Tengah.  Yang
               menarik,  metaphor  suket  teki  itu  adalah  menawarkan  wacana  kepemimpinan  khas
               Jawa.  Suket  teki  adalah  lambang  watak  orang  Jawa,  yang  tidak  pernah  hilang,
               tumbuh terus, dan sulit diberantas.
                     Ada  pepatah  Jawa  yang  mnyatakan  “gawan  bayi,  ciri  wanci  ginawa  mati.”
               Artinya,  watak  seorang  pimpinan  yang  sulit  dihilangkan.  Watak  pimpinan  yang
               menahun,  sudah  mengendap,  sehingga  sulit  dipengaruhi  orang  lain.  Itulah  kondisi
               suket  teki,  memang  sulit  dimatikan  dengan  cara  apa  pun.  Konotasi  pemimpin
               berfalsafah  suket  teki  tidak  selalu  baik.  Maksudnya,  pimpinan  suket  teki  berarti
               wataknya  yang  jelek  sulit  dihilangkan.  Banyak  pemimpin  yang  berwatak  otoriter,
               senang perintah (dhawuh) saja, tanpa memperhatikan kondisi bawahan.
                     Celakannya, kalau  suket teki itu sudah menggerogoti otak pimpinan sehingga
               mau korupsi biarpun tahu kalau salah. Korupsi terus terjadi dan sulit diobati bukan
               hanya  pada  pemegang  kekuasaan  di  tingkat  atas,  tetapi  turun  hingga  pada  para
               individu birokrat di dinas setempat. Korupsi sudah bersifat sistemik, ibaratnya kalau
               suket teki, biarpun dibakar hanya lenyap sebentar, lalu tumbuh lagi. Hal ini berarti
               bahwa  seseorang  pengusaha  atau  pejabat  dapat  diganti,  tetapi  korupsi  tetap  ada.
               Biarpun  Presiden  RI  diganti  siapa  pun  korupsi  tetap  merajalela.Oleh  karena,  yang
               terjadi  adalah  mental  koruptur  sudah  seperti  suket  teki.Maksudnya,  suket  teki  itu
               kelihatannya  halus,  tetapi  masuk  ke  sendi-sendi  apa  saja.  Suket  teki  akan  tetap
               hidup dan berkembang, biarpun telah dibabat dan dibakar.
                     Krisis  keuangan  Asia  akhirnya  mengungkap  praktek-praktek  perbankan  dan
               perusahaan yang korup dan curang. Latar belakang kegagalan sistem ekonomi telah
               disajikan  oleh  Raillon.  la  membicarakan  berbagai  jalan  pintas  yang  diambil  oleh
               pengusaha  dan  pejabat  untuk  meningkatkan  secara  luar  biasa  investasinva,
               termasuk  kontrak  curang,  transaksi  keuangan  tidak  transparan,  dan  perlindungan
               rnelalui patronase politik. Untuk jangka pr ndek, praktek-praktek ini mungkin efektif,
               dan  membantu  menciptakan  pertumbuhan  ekonomi  dengan  cepat.  Tetapi  karena
               skala dan langkahnya meningkat drastik, dan tidak adanya checks-and-balances dan
               pengawasan, KKN dan ketidakadilan menjadi makin jelas. Raillon menggambarkan
               suatu borjuasi birokratis yang mengumpulkan uang, tetapi tanpa menanggung risiko,
               tanpa  memperlihatkan  kewiraswastaan,  atau  mengembangkan  manajeman  baku
               yang profesional. Hal itu cukup dengan patronase personal saja.
                     Mengapa moral menjadi terkikis dengan cara demikian? Kartodirdjo (1993:190)
               menyatakan bahwa dalam kehidupan politik terutama di kalangan priyayi Jawa, telah
               terjadi diskontinuitas. Kehidupan priyayi menunjukkan betapa dalamnya dan berakar
               kecenderungan  paternalistik  birokrasi  masa  kini.  la  menyatakan  bahwa  struktur  ini
               diperkuat  balk  oleh  pemerintah  Belanda  maupun  Soeharto.  Birokrasi  yang  timbul
               pada  masa  kemerdekaan  membawa  banyak  kepemimpinan  ideal  yang  gagal.
               Kontinuitas  kepemimpinan  di  kalangan  priyayi  tidak  selamanya  langgeng.  Priyayi
               Jawa  yang  dikenal  halus,  sekarang  sudah  mengenal  orupsi  besar-besaran,  yang
               merugikan rakyat.
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33