Page 25 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 25
dengan berbagai kesalahan yang dialamatkan kepadanya, malah sekarang dirindukan
oleh rakyat yang menjelek-jelekkannya.
Soeharto memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Di awal kepemimpinannya,
Soeharto menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia secara jelas.
Bahkan Obama, menurut kesaksiannya ketika hidup di Jakarta menganggap bahwa
apa yang dilakukan Soeharto ketika membangun Jakarta begitu menakjubkan. Selain
itu, keberpihakannya kepada petani sangat jelas. Pemimpin yang mampu memihak
rakyat, jelas mampu manjing ajur-ajer. Biasanya pemimpin semacam ini banyak
disegani rakyat.
Dalam uraiannya, Nardjoko mengungkapkan falsafah yang dianut Soeharto dan
Jokowi. Misalnya, kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni. Artinya,
boleh cepat asal jangan mendahuluhui, boleh pandai asal jangan menggurui. Falsafah
yang berupa peribahasa tersebut mengajarkan bahwa bawahan harus dapat bekerja
sama dengan atasan dan tidak boleh 'sok' apalagi mempermalukan atasan. Falsafah ini
tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi malah
sebaliknya untuk meningkatkan gairah hidup masyarakat. Rakyat boleh selalu
berkreasi, namun harus berpegang teguh pada komando dan aturan pimpinan.
Meski falsafah ini sudah banyak dilupakan oleh masyarakat Jawa, namun kita bisa
melihat bagaimana sikap Soeharto terhadap Soekarno, yakni meski dianggap bersalah,
Soekarno tidak lantas diadili oleh pemerintahan Soeharto. Ini bukan nepotisme, tetapi
sikap yang tegas karena kasus tersebut tidak jelas pangkalnya. Ketegasan pemimpin
penting, namun harus dilandasi nalar yang jelas. Jika tidak ada alasan yang jernih,
ketegasan pimpinan dapat berubah menjadi diktator.
Falsafah ini juga diterapkan Jokowi ketika menjabat sebagai Walikota Solo dengan
mencium tangan Bibit Waluyo sebagai Gubernur Jawa Tengah. Meskipun secara
kualitas kepemimpinan Jokowi lebih hebat, namun Jokowi tidak sungkan-sungkan
melakukan hal tersebut. Tindakan mencium tangan atasan, merupakan refleksi
percikan hati yang tulus. Ketulusan dijiwai oleh pribadi yang andhap asor, artinya
merendahkan diri. Kerendahan hati pula yang dapat membangun watak kepemimpinan
prasaja dan manjing ajur-ajer.
Atas dasar falfafah kepemimpinan Jawa prasaja dan ajur-ajer, maka pegangan
pokok pemimpin yaitu falsafah: (1) Aja Gumunan, (2) Aja Kagetan lan dan (3) Aja
Dumeh. Falsafah Aja Gumunan ini mengajarkan pemimpin untuk bersifat tenang dan
berwibawa, tidak terlalu terheran-heran dengan suatu hal. Bila pemimpin senang heran,
akan memunculkan rasa ingin yang kadang-kadang menempuh jalan pintas. Heran itu
penting, tetapi kalau berubah menjadi terheran-heran sering kurang wajar.
Falsafah kepemimpinan aja kagetan, adalah rasa tidak menunjukkan sikap kaget
jika ada hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong. Falsafah ini bukan berarti
pimpinan itu anti kemajuan. Kaget adalah kondisi jiwa yang kurang wajar dan
seimbang. Pimpinan yang tidak mudah kaget menyaksikan berbagai hal, tentu masih
diperbolhkan. Falsafah ini mulai ditinggalkan kebanyakan pemimpin Jawa. Mereka
terlalu responsif dalam menyikapi suatu permasalahan, mudah emosi dan gemar
melakukan perang media hanya untuk merespon sesuatu yang sebenarnya jika
didiamkan tidak membawa masalah apa-apa bagi dirinya.
Falsafah aja dumeh ini sering menjadi bumerang bagi seorang pimpinan,
Seringkali pimpinan merasa sebagai keturunan ningrat, mantan menteri, dan