Page 22 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 22
BAB II
FALSAFAH KEPEMIMPINAN JAWA
A. Falsafah Kepemimpinan Politik Sumur dan Sungai
Sumur dan sungai jelas amat popular di telinga kita. Keduanya berkaitan
dengan air. Metafor ini, ternyata terkait dengan falsafah kepemimpinan Jawa.
Sikap kekuasaan feodalistik Jawa terlihat pada cita-cita hidup yang menghormati
kepahlawanan. Pahlawan dianggap memiliki kekuatan superior. Hal ini pun tidak
salah, sebab penghargaan terhadap leluhur itu hal yang tidak dapat dilupakan
dalam ranah kehidupan orang Jawa. Dengan falsafah sumur dan sungai, terlihat
bagaimana orang Jawa menjalankan kepemimpinan. Penghargaan terhadap
pahlawan, sebenarnya mengikuti falsafah sungai, artinya banyak memperhatikan
pihak lain.
Orang Jawa sering menggunakan falsafah sumur dan sungai. Sumur adalah
sumber mata air yang jernih. Yang menarik, dari penggali sumur, selalu berprinsip
sedalam-dalamnya, yang penting ada air bersih. Dia biasanya tidak
memperhatikan kanan kiri yang kekurangan air. Penggali sumur juga tidak mau
tahu, apakah airnya itu bermanfaat bagi orang banyak atau tidak.Umumnya,
sumur di Jawa, hanya berguna bagi lngkungan keluarga (terbatas).
Yang paling menyusahkan, falsafah sumur itu sering digelitik dengan
ungkapan Jawa: sumur lumaku tinimba. Artinya,sumur itu dapat berfungsi ketika
ditimba airnya. Air sumur akan diam jika tidak ditimba. Jika pemimpin Jawa
menerapkan falsafah sumur, berarti selalu ingin dilayani. Pimpinan yang minta
dilayani bawahan, jelas menyusahkan. Sudah sepantasnya seorang pimpinan itu
melayani rakyat, bukn sebaliknya. Berbeda dengan politik model sungai. Falsafah
yang dijunjung tinggi oleh sungai adalah kegunaan bagi orang lain. Air sungai
jelas banyak brmanfaat bagi banyak orang. Air sungai juga bertugas membawa
sampah-sampah hingga masuk ke lautan. Politik sungnai sungguh emiliki nilai
lebih, dibanding sumur yang hanya mengandalkan kedalam dan kejernihan.
Sungai, masih sering dicabang-cabang ke selokan dan parit-parit hingga
menunjukkan kebermanfaatan air yang luar biasa. Jadi, kepemimpinan yang
berfalsafah sungai pun harus mengalir terus-menerus, air berganti terus
ibaratnya.
Biarpun konteks sumur dan sungai terkesan tradisional, namun kalau
berkiblat pada wawasan antropologi politik dan antropologi budaya Geertz
(1992:169) kepemimpinan modern pun sering memanfaatkan drama-drama politik
masa kuna (lampau). Bahkan, menurut dia masa lalu adalah “sebuah ember abu-
abu” yang dapat muncul di dunia kontemporer. Maksudnya, kepemimpinan masa
lalu pun masih banyak yang relevan jika diterapkan di era sekarang. Maka, sudah
jelas bahwa politik sumur dan sungai memang ada plus minusnya. Sumur
memang ditanggung bersih airnya, tidak terkontaminasi. Adapun sungai jelas
sering kotor, namun manfaatnya luar biasa. Politik sumur sering hanya
mementingkn pribadi. Kebutuhan pribadi dan keluarga atau kroninya yang
diutamakan. Kini jelas sekali bahwa politik sumur sedang mewabah di negeri ini.
Poliitik itu ada yang menyatakan keras, sering ada sentiment pribadi. Orang yang
semula kawan, dalam politik bisa menjadi lawan. Dari detik ke detik, menit ke