Page 20 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 20
Hubungan sebab akibat itulah yang menganjurkan bahwa pimpinan menggunakan
wewenangnya. Wewenang selalu bersifat pribasih dikelola secara samar-samar.
Terlebih kepudi. Namun demikian kewenangan pimpinan sering dibatasi oleh aturan
dan undang-undang. Di Jawa wewenang seorang pimpinan diatur oleh aturan. Setiap
orang boleh melakukan klarifikasi jika hasil kepemimpinannya kurang sempurna.
E. Tiga Kategori Pemimpin Jawa
Pemimpin Jawa memang berbeda dengan yang lain. Setiap pimpinan memiliki
gaya tersendiri. Setiap kondisi bawahan berbeda pun membutuhkan gaya yang
berlainan. Clarker (Barker, 2005:342) menyebutkan bahwa gaya adalah kondisi
pemaknaan budaya. Gaya membentuk sebuah identitas baru. Setiap gaya
kepemimpinan memiliki nilai kategori yang berbeda. Kategori itu juga tergantung
dengan kondisi yang dipimpin.
Kategori kepemimpinan Jawa terbagi menjadi tiga hal, yakni, tingkatan (1) nistha
(2) madya, dan (3) utama (hina-tengah-utama). Tentu saja yang paling berkualitas
adalah tingkat utama. Keutamaan pemimpin Jawa akan banyak disukai oleh rakyat.
Manakala pimpinan setiap elemen bangsa memahami keutamaan menjadi pemimpin,
dia tidak akan jatuh pada kenistaan. Pimpinan nistha adalah yang paling banyak dibenci
orang.
Merebaknya kasus KKN di kalangan pemimpin, mungkin sekali karena mereka
kurang (tak) paham tiga tingkatan kepemimpinan. Korupsi adalah barometer apakah
pimpinan Jawa termasuk nistha ataukan utama. Belum lagi ditambah dengan persoalan
grativikasi seks, yang sering melilit para pejabat negara. Kalau ada yang tahu, mungkin
pimpinan kita baru sampai tingkatan madya (tengah). Bahkan, mungkin sekali ada yang
sengaja memilih tingkatan nistha (hina). Jika yang terakhir ini yang menjadi pilihan,
akibatnya tak jarang di antara pemimpin kita yang berurusan dengan hukum.
Orang Jawa memang memiliki falfasah hidup madya (tengah). Namun dalam hal
kepemimpinan, yang paling hebat tentu yang terkategorikan utama. Pimpinan utama
jauh lebih membahagiakan rakyat. Pimpinan tersebut akan disanjung-sanjung,
dihormati, dan dijaga keselamatannya oleh rakyat. Ketika pimpinan tersebut turun ke
bawah, meninjau ke desa-desa, yang termasuk utama tidak perlu dipagar betis, rakyat
akan menjaga dengan sendirinya. Berbeda pimpinan yang jatuh ke lembah kenistaan,
keamanan dirinya akan selalu terganggu. Setiap keluar rumah, pimpinan tersebut
banyak mengundang masalah.
Menurut Babad Tanah Jawa, ada tiga kriteria seorang pemimpin bangsa dan
negara. Yakni, mereka yang tergolong pemimpin nistha, madya, utama. Pertama,
pemimpin yang tergolong nistha, adalah mereka gila terhadap harta kekayaan (melikan
arta). Pemimpin semacam ini, biasanya ingin menyunat hak-hak kekayaan rakyat
dengan aneka dalih dan cara. Harta kekayaan rakyat diatur sedemikian rupa, sehingga
tampak legal, kemudian dikuasai semaunya sendiri.
Biasanya, pemimpin nistha tersebut banyak dalih (julig) dan alibi betubi-tubi. Dia
pandai bersilat lidah, seakan-akan bisa merebut hati rakyat, padahal ada pamrih.
Pemimpin tipe ini hanya akan menyengsarakan rakyat terus-menerus. Dari sini, dapat
kita teropong jauh – bagaimana pemimpin bangsa yang sedang bergulir ini. Bukankah,
di antara para pimpinan memang ada yang sengaja atau tidak berusaha memakan