Page 23 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 23
menit, ketika kepemimpinan sudah bercampur politik akan semakin panas. Tidak
ada yang kekal dalam peristiwa politik tingkat apa pun. Politik, kekuasaan,dan
kepemimpinan adalah tida hal yang saling terkait. Ketiganya dapat memoles
suasana hingga melahirkan isme-isme baru.
Pemimpin Jawa itu sebenarnya kaya strategi politik. Sri Sultan HB IX, adalah
sosok pemimpin Jawa yang ahli politik dalam memimpin bangsa. Selain itu, dia
juga ahli dalam laku kejawen. Kepahaman pimpinan tentang politik sejak era
kerajaan, sudah teruji, hingga mampu menundung dan menendang penjajah,
Pemimpin Jawa tahu kalau penjajah itu keras dan feodalistik, sehingga
membutuhkan strategi politik untuk memukul mundur para pejajah. Politik
semacam ini ternyata bermanfaat bagi bangsa Indonesia umumnya. Buktinya
dengan politik sungai, mengalir deras, mengedepankan kegunaan, orang Jawa
dapat menikmati kebebasan.
Kepemimpinan yang dipandang bagus apabila secara politik bersifat
demokratis. Demokratisasi adalah pancaran falsafah politik sungai. Sungai itu ada
sumber, dari hulu menuju ke hilir, tidak pernah berat sebelah, semua yang
membutuhkan dialiri sungai. Demokratisasi Jawa sebenarnya tergambar pada
wawasan musyawarah. Musyawarah adalah seperti aliran sungai, yang
mengutamakan kepentingan bersama. Dalam musyawarah terdapat ajaran
ngemong sesama, artinya tolerensi terhadap sesame. Politik memang kadang-
kadang menyakitkan sesame. Tolerensi adalah wujud falsafah kepemimpinan
sungai. Sungai senantiasa mengeluarkan sumber mata air, yang tidak pernah ada
henti-hentinya,
Namun, ketika politik Jawa berubah menjadi politik sumur, terlebih lagi kalau
salah satu pihak sudah tersandung masalah hukum, seringkali politik berubah
menjadi saling ejek dan mencemooh. Akibatnya sering hilang nilai
demokratisasinya. Padahal, salah satu dari pemain kunci di dalam proses
demokratisasi adalah para politisi. Politik sumur sering sudah mementingkan
kebutuhan pribadi atu golongan (partai), hingga kesejahteraan rakyat terganggu.
Sumur tidak pernah mengalir sendiri dalam kejernihan, kecuali limbah sumur.
Ketika politikus mau mengendalikan diri, tidak otoriter, melainkan selalu
menjunjung tinggi kehormatan orang lain, jadilah demokrasi. Demokrasi
merupakan pantulan konsep air sungai, yang dalam budaya Jawa disebut mbanyu
mili, artinya mengalir tiada henti. Sebenarnya kita tidak membicarakan hal ini
secara terpisah di dalam naskah, dan ada alasan yang bagus untuk itu. Seorang
politikus di bawah Soeharto bukanlah politikus pada umumnya, dalam pengertian
demokratis, mendapatkan prestise dan membawa aspirasi rakyat, bertindak
sebagai perantara kekuasaan antara rakyat dan penguasa negara, dan
mengadakan tawar-menawar dengan pendukung kekuasaan yang lain dan di
dalam pikirannya terdapat kepentingan yang terbaik dari pemilihnya. Orang-orang
yang menjalankan negara di bawah Soeharto merupakan birokrat patrimonial,
menjadi klien negara seperti yang telah dibicarakan di atas.
Politik Jawa biasanya tetap berpegang teguh pada nilai sopan santun.
Sekecil apa pun, politik Jawa harus bermanfaat bagi orang lain. Itulah getah dari
sebuah aliran sungai, yang sangat berbeda jauh dengan politik sumur. Politik
yang berbau seperti orang mengeduk sumur, sedalam apa pun, sejernih apa pun