Page 24 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 24

hanya bermanfaat secara terbatas. Penggali sumurpun tidak mau menengok apa
               yang terjadi di akanan kiri, yang penting mendapatkan mata air. Berbeda dengan
               politik  bergaya  sungai,  sedikit  banyak  tentu  banyak  bermanfaat  bagi  orang  lain.
               Sungai memiliki mobilisasi  yang hebat biarpun tidak terlalu jernih seperti  sumur.
               Yang  lebih  hebat  ketika  sungai  itu  mengalir  dalam  kondisi  jernih,  berasal  dari
               sumber mata air asli. Sungguh akan lebih bermanfaat apabila sungai itu mengalir
               jernih, menyehatkan, dan indah dipandang.

               B. Falsafah Kepemimpinan Prasaja dan Manjing Ajur-ajer
                     Kepemimpinan prasaja (sederhana) adalah suatu falsafah hidup. Pemimpin yang
               memegang  teguh  kepemimpinan  prasaja  diduga  tidak  akan  menyengsarakan  rakyat.
               Paling  tidak,  dengan  hidup  sederhana,  tentu  tidak  ada  niat  untuk  korupsi  ketika
               memimpin bangsa. Selain sikap sederhana, tanpa keinginan bermacam-macam (neka-
               neka),  pemimpin  perlu  bersikap  ajur-ajer.  Artinya,  pemimpin  mampu  melakukan
               treatment, untuk menjadi rakyat. Ajur-ajer akan mendorong pimpinan merasa memiliki
               rakyat, sehingga ingin melindungi dan mensejahterakan.
                     Kepemimpinan  memang  membutuhkan  hati.  Kalau  diperhatikan,  kepemimpinan
               Jokowi,  sungguh  dapat  meyakinkan  hati  rakyat  Jakarta.  Dia  memimpin  dengan  hati,
               dengan gaya blusukan. Blusukan merupakan strategi ampuh untuk merebut hati rakyat.
               Bahkan ada pendapat dengan gaya blusukan, rakyat menjadi semakin dekat. Seolah-
               olah  pimpinan  dapat  “menjadi”  rakyat,  mampu  merasakan  keinginan  dan  perasaan
               rakyat. Inilah kepemimpinan yang mampu manjing ajur ajer.
                     Blusukan  di  era  para  raja  disebut  bercengkerama.  Mulkhan  (2919:274-275)
               membenarkan  bahwa  bersengkerama,  berdialog,  dan  berkomunikasi  dengan  warga
               agar setiap warga dapat curhat kepada pemimpin, merupakan wujud pemimpin kultural.
               Jokowi  memang  memang  memiliki  magnit  kepemimpinan,  dalam  hal  cengkerama
               (blusukan). Dia mampu menakhlukkan hati rakyat, dengan gaya yang lugu (polos) dan
               sederhana.  Bahkan  ada  yang  mengusulkan  agar  dia  mencalonkan  atau  dicalonkan
               menjadi  presiden  RI  pada  Pemilu  mendatang.  Sampai  saat  ini  sudah  terbit  belasan
               buku  yang  mengupas  Jokowi.  Semenjak  memenangkan  pilkada  DKI  Jakarta,  Jokowi
               menjadi  sebuah  magnet  yang  memiliki  daya  tarik  besar  bagi  Indonesia.  Ia  sosok
               pemimpin  yang  memiliki  khariamatik,  dekat  dengan  rakyat  kecil,  hidup  sederhana.
               Keadaan  inilah  yang  menaikkan  daya  pilih  rakyat.  Oleh  karena,  rakyat  sudah  lama
               merasa dibuat resah dengan sosok kepemimpinan yang tidak merakyat.
                     Sebagai  orang  Jawa,  Jokowi  benar-benar  mengimplementasikan  nilai-nilai
               falsafah  hidup  Jawa  dalam  kehidupannya,  terlebih  dalam  menduduki  kursi
               kepemimpinan. Ki Nardjoko Soeseno, yang menulis buku “Falsafah Jawa Soeharto &
               Jokowi  menyatakan  bahwa  kedua  pemimpin  tersebut  tergolong  pemimpin  yang
               kharismatik. Berbeda dengan buku-buku lain, dalam buku ini Nardjoko mengupas jati
               diri  Jokowi  sebagai  orang  Jawa  yang  mampu  menjadi  sosok  pemimpin  ideal  terlebih
               lagi jika dibandingkan dengan Soeharto, presiden RI ke-2.
                     Nardjoko  menghadirkan  buku  ini  di  tengah-tengah  zaman  dimana  sulit  kita
               temukan  teladan  pemimpin  sejati.  Menurut  dia,  gaya  kepemimpinan  Soeharto  dan
               Jokowi patut dicontoh semua pemimpin di negeri ini. Saat ini Jokowi tidak hanya dicintai
               rakyat Jakarta dan Solo, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Sementara itu Soeharto,
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29