Page 26 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 26
sebagainya. Rasa berbangga diri dengan menepuk dada, sebenarnya hanya dilakukan
oleh pemimpin yang gila jabatan. Lebih membahayakan lagi kalau pimpinan terlalu
tergila-gilajabatan, seringkali lupa diri. Berbeda dengan pemimpin yang mengetahui
tentang diri sendiri, kekurangan dan kelebihan tentu menjadi modal dalam memimpin
bangsa ini. Ketika dumeh itu yang berkembang pada diri pemimpin, buahnya adalah
kesombongan diri. Pimpinan demikian biasanya kurang sukses, karena hanya akan
menjadi nerkhisus. Pemimpin yang merasa sukses sendiri, tinggal menunggu waktu,
tentu akan tergeser. Biarpun pergeseran seorang pimpinan itu wajar, namun kalau
belym saatnya sudah geser seringkali menyakitkan.
C. Kepemimpinan dan Kebenaran Hidup
Kebenaran hidup selalu dipandu oleh falsafah hidup seseorang. Setiap orang
memiliki jiwa kepemimpinan yang berbeda-beda. Orang Jawa memiliki falsafah untuk
meraih kebahagiaan perlu menjadi pemimpin. Hal ini didorong oleh filosofi hidup yang
kajeng keringan. Kajen berarti terhormat, disbanding orang lain. Posisi terhormat itulah
yang memotivasi orang Jawa mau duduk sebagai pimpinan. Kajen adalah suasana
batin yang merasa lebih (kacek) disbanding orang lain. Suasana itu amat abstrak, tidak
dapat dijelaskan secara rinci, namun dapat dirasakan.
Kajen adalah kebenaran hidup yang dituntut oleh akal sehat. Itulah sebabnya,
orang Jawa merasa lengkap hidupnya apabila telah memiliki: (1) tahta, (2) wanita, (3)
harta, dan (4) wanita (bagilaki-laki). Keempat hal itulah yang menyebabkan orang Jawa
kajen, dihormati dan disegani orang lain. Bahkan kalau ada peristiwa jagongan di desa,
orang kajen akan didudukkan di jajaran paling atas. Orang kajeng tidak mungkin duduk
lesehan dekat pintu atau jalan keluar.
Wayang selalu membawa suara kebenaran hidup. Konsep kebenaran banyak
didukung oleh para tokoh, yang mengemban misi kesempurnaan. Setiap pemimpin
membawa misi untuk memperjuangkan kebenaran. Oleh sebab itu, dengan menghayati
wayang seorang pimpinan akan semakin memiliki pegangan yang bermakna. Yang
dicari sebenarnya tidak sekedar kebenaran dalam budaya Jawa,melainkan ketepatan
(pener). Konsep bener lan bener, artinya benar dan tepat sanget dibutuhkan bagi
seorang pimpinan. Pimpinan perlu memperhatikan titik kebenaran dan ketepatan agar
tidak salah arah dalam mengambil kebijakan. Orang yang bijak, tentu semakin
mendapatkan perhatian bawahan.
Setidaknya ada tiga jenis kebenaran yang mewarnai nilai-nilai yang terdapat di
dalam budaya Jawa yang tercermin di dalam ajaran dan kisah-kisah simbolis dalam
wayang. Kebenaran etis ialah kebenaran yang dinilai berdasar etika, baik buruk seperti
balas budi. Nilai yang dibawa oleh Karna adalah nilai etis ketika seseorang harus
berperang dengan saudara-saudara ang karena ingin membalas budi kepada
seseorang yang telah ”memuliakannya”. Kebenaran ini syah, tetapi akan menjadi
dilematis ketika yang dibela adalah tokoh-tokoh yang berpihak kepada kejahatan.
Kebenaran dogmatis adalah kebenaran dalam rangka membenarkan suatu
dogma, suatu keyakinan, atau suatu kepercayaan. Kebenaran model ini dilakukan oleh
Kumbakarna ketika ia harus membela negaranya dengan prinsip membela tanah airnya
yang diserang musuh. True or wrong is my country. Kebenaran ini dapat menimbulkan
nilai heroisme yang tinggi. Tetapi Kumbakarna memasuki suasana tragis karena
negaranya diserang akibat pimpinan negara melakukan suatu kejahatan. Situasi hati
Kumbakarna terbelah antara membela negara dan membela kejahatan.