Page 29 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 29

Hal  tersebut,  terjadi  karena  suket  teki  selalu  hadir  di  jagad  kepemimpinan.
               Tindakan  yang  ingin  memperkaya  diri  dan  merugikan  orang  lain  adalah  metaphor
               suket  teki,  yang  sulit  diberantas  tuntas.  Padahal  korupsi  dan  kolusi  tanpa  moral
               berakibat  krisis  kepemimpinan  yang  meluas  pada  awal  tahun  1990-an  dan  makin
                          -
               tersingkir nya  kelas  menengah  intelektual  dari  negara.  Semua  ini  memerlukan
               penyusunan  kembali tatanan poiitik  yang ada. kelompok-kelompok  yang penting di
               dalam  masyarakat  mulai  bersaing  untuk  memperoleh  kekuasaan  dan  para
               pendukung  rezim  yang  lebih  bertanggung  jawab  dan  dapat  dipercaya  (yang
               demokratis)  mempunyai  kedudukan  tawar-menawar  yang  kuat.  Krisis  rezim  ini
               berakibat, seperti demikianlah yang sering terjadi, perpecahan elit - dan ketika para
               pembantu  Soeharto  memutuskan  bahwa  masa  depan  mereka  lebih  baik  tanpa
               presiden  dan  berbalik  menentangnya,  Soeharto  hanya  memiliki  sedikit  pilihan
               kecuali turun tahta.
                     Demokratisasi seringkali merupakan masalah pilihan dan taktik. Di dalam masa
               demokratisasi  di  Eropa  dan  Amerika  seabad  yang  lalu,  kelompok  elit  dapat
               menerima  demokrasi  jika  hal  itu  tidak  mengancam  kepentingan  mereka.  Gerakan
               rakyat  -  kaum  radikal,  serikat  buruh,  dan  sebagainya  -  menghendaki  kekuasaan
               penuh.  Kaum  borjuis,  yang  ingin  melindungi  kepentingan  ekonominya,  terpaksa
               mengadakan  konsesi  politik.  Akibatnya  adalah  terpisahnya  antara  ekonomi  dan
               politik, apa yang biasa kita pandang sebagai demokrasi liberal.
                     Masalah inti di dalam proses demokratisasi adalah bagaimana elit yang sedang
               berkuasa  dapat  memperkuat  kembali  kekuasaan  mereka  atau  menyerahkan
               kekuasaan  tanpa  mengorbankan  kepentingan  utama,  dan  bagaimana  kaum  pro-
               demokrat  dapat  meyakinkan  elit  yang  ulet  bahwa  alternatif  yang  demokratis  itu
               adalah  yang  paling  menguntungkan  bagi  semuanya.  Ketika  saya  Antlov  (2001)
               menulis  ini,  pada  bulan  April  tahun  2001,  konflik  ini  sedang  marak,  mengenai
               masalah  seperti  mengadili  Presiden  Abdulrahman Wahid,  perkara-perkara  korupsi,
               dan kebijakan desentralisasi.
                     Di  dalam  proses  ini,  keahlian  politik  merupakan  hal  yang  sangat  penting.
               Demokratisasi  bukanlah  sekedar  adanya  pra-kondisi  tertentu  (ekonomis  atau
               kultural) melainkan "terletak pada melakukan perpindahan (kekuasaan) itu menarik,
               mudah atau dengan paksaan. Akhirnya hal itu dapat tergantung pada sifatnya yang
               menarik  bagi  alternatif-alternatifnya"  (Palma,  1990:  30).  Terlalu  pagi  untuk
               mengatakan tipe kompromi politik yang mana yang harus dicapai di Indonesia, tetapi
               kompromi  itu  mungkin  termasuk  pembagian  kekuasaan  regional  yang  baru,
               hubungan yang tetap ada antara ekonomi dan politik (artinya, bukan ekonomi liberal
               seperti  digambarkan  diatas),  dan  diteruskannya  peranan  sipil  yang  dilakukan  oleh
               militer.
                     Perlu di ingat di jagad suket teki memang aneh. Orang Jawa yang berhati suket
               teki,  sebenarnya  tidak  mengenal  kompromi,  bahkan  dendam  selalu  berkobar  secara
               diam-diam. Ketika seorang pimpinan disakiti, bawahan dirugikan, kata yang tepat dan
               dipuja oleh mereka adalah titenana. Titenana adalah penyemaian suket teki yang tidak
               pernah  punah.  Kepemimpinan  suket  teki,  biasanya  memakan  korban  yang
               berkelanjutan, tidak jelas ujung pangkalnya.
   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34