Page 33 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 33
"liberalisme" yang berlebihan dan pemahaman yang keliru mengenai makna hak-
hak asasi manusia. Kaum liberal di Jawa ada sebenarnya, hanya berkedok halus.
Ketika dia memerintah menurut keinginan (wudele dhewe), benar sendiri, merasa
hebat sendiri, itulah pimpinan yang tak bermoral bagus.
Dalam wawasan Anderson (1986:50) dari segi moral kekuasaan itu berarti
ganda. Kekuasaan dan kepemimpinan adalah dua hal yang saling terkait.
Kekuasaan itu sebagai akibat sekuler dari peristiwa politik sebagai hubungan antar
manusia. Hubungan antar manusia itu dibingkai secara moral lewat kebijakan
seorang pimpinan. Dari sisi moral, kekuasaan itu tidak boleh semena-mena,
Kekuasaan butuh kepemimpinan yang moralis. Yakni kepemimpinan yang arif, bisa
memahami orang lain. Seharusnya kepemimpinan butuh moral, yang dapat
membimbing kekuasaan.
Selanjutnya wawasan Mulder (2001) menyoroti keadaan pemimpin Jawa,
dikaitkan dengan nasionalisme yang sudah mulai bergeser. Pergeseran penekanan
ini dapat dipahami dipandang dari sudut penafsiran resmi (dan final Pancasila,
ideologi negara yang diberikan sebagai pedoman bagi bangsa dan penduduknya
sebagai individu untuk melayari perjalanannya menuju masyarakat yang sempurna.
Komunisme jelas-jelas tidak sesuai dengan doktrin yang berawal dari "Ketuhanan
Yang Maha Esa", "individualisme dan liberalisme" pun demikian yang, menurut
penafsiran Indonesia, merupakan tindakan tercela karena hanya mengagung-
agungkan kebebasan dan kepentingan pribadi. Hal ini juga dibenci oleh kiblat
kepemimpinan Jawa. Moralitas pimpinan Jawa biasanya anti liberal, sayangnya
banyak paham liberal yang berkeliaran, atau berpura-pura non liberal.
Liberalisasi adalah paham barat, yang oleh orang Jawa dianggap tidak
relevan. Moralitas Jawa selalu berpikir komunal, sehingga kebersamaan menjadi
penting. Implikasi moral tentu amat penting demi keberlanjutan kepemimpinan.
Telah lama orang Jawa didulang dengan pendidikan moral, lewat pendidikan
formal, namun ketika menjadi pemimpin juga tak bermoral. Dalam berbagai siding
pimpinan ada yang tidur melulu di DPR RI, ada lagi yang memperjuangkan nasib
keluarganya, kroninya sendiri, ini menandai moralitas rendah. Tema yang
berulang-ulang dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang harus dipelajari
oleh semua pelajar dari kelas satu hingga akhir sekolah menengah adalah harus
tunduknya individu kepada mayarakat dan Negara,menurut hemat saya masih banyak
dilanggar. Dua hal itulah yang mewujudkan kepentingan beragama yang harus
didahulukan di atas kepentingan pribadi atau individu. Sikap tunduk ini ditambah
lagi dengan penekanan yang terus-menerus bahwa semua hak itu harus bersama-
sama dengan kewajiban terhadap orang lain, terhadap masyarakat dan terhadap
negara Indonesia. Sikap tunduk dan kewajiban terhadap apa yang lebih besar
daripada individu juga menyatakan bahwa hak asasi manusia itu bukanlah
pernyataan yang valid secara universal mengenai martabat manusia dan dengan
demikian memberikan pembenaran kepada penafsiran Indonesia.
Pimpinan Jawa memang orang multidimensi. Akibatnya, di satu sisi mereka
sering lamis dan berpura-pura bersih, namun sebenarnya mengambil keuntungan
pribadi. Pimpinan semacam ini, sebenarnya lebih kotor dari sampah. Gemblengan
pimpinan di sekolah ABRI, Akademi Kepolisian, dan sekolah keagamaan pun
kurang mampu membekali moralitas kepemimpinan Jawa. Umumnya para