Page 36 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 36
pandangan hidup tradisional Jawa adalah adanya hubungan langsung antara
keadaan batin seseorang dan kemampuannya untuk mengendalikan
lingkunganriya.'' I
Dengan cara yang sungguh konsisten, pratanda yang paling jelas dari orang
yang mempunyai kekuasaan adalah kemampuannya berkonsentrasi. Memfokuskan
kekuasaan pribadinya sendiri, menyerap kekuasaan dari luar dan memusatkan
dalam dirinya hal-hal yang kelihatannya bertentangan. Satu aspek yang biasa
dalam penulisan sejarah Jawa Kuno, yaitu cerita-cerita tentang raja-raja
bersejarah sebagai penjelmaan dewa-dewa. Kisah tersebut terdapat dalam lakon-
lakon wayang dan dalam tradisi sejarah. Salah satu gambaran khas, yang
menghubungkan jenis penyerapan ini dengan penyatuan dua prinsip yang berlawan-
an, adalah pertarungan antara seorang satria dengan seorang musuh yang kuat, di
mana setelah musuh itu dikalahkan, dalam kematiannya ia memasuki tubuh sang
satria, dan dengan begitu menambah kekuatan sang satria penakluk.
Suatu contoh terkenal dalam kepustakaan wayang adalah cerita Prabu Parta
yang memasuki tubuh Arjuna setelah ia kalah dalam pertempuran. Tetapi lakon-
lakon lain, seperti yang melukiskan roh Begawan Bagaspati yang turun kepada
Yudistira untuk memungkinkannya membunuh Prabu Salya, atau penyatuan Srikandi
dan Ambalika untuk menyiasati keruntuhan Resi Bisma pada awal Perang
Bratayuda, mengungkapkan adanya pola-pola yang sejajar di mana kekuasaan
diserap dari sumber-sumber ekstemal.
Walaupun dalam dunia seni gabungan lelaki-wanita merupakan lambang
kekuasaan, namun dalam dunia politik, karena alasan-alasan yang jelas, sinkretisme
dinamis dalam pemikiran Jawa menyatakan dirinya dalam bentuk-bentuk lain.
Pernyataan yang paling menarik mengenai hal ini ialah apa yang dinamakan politik
Nasakom dari bekas Presiden Soekamo. Sewaktu Soekamo menyatakan dirinya
nasionalis, beragama dan komunis sekaligus, para pengamat di luar tradisi politik
Jawa sering menafsirkan bahwa ia mempergunakan bahasa manuver dan kompromi.
Orang sering menganggap rumusan Nasakom sebagai slogan yang tidak
bertanggung jawab dan secara intelektual tidak mempunyai keutuhan atau sebagai
alat halus yang dipergunakan untuk melemahkan prasangka-prasangka antikomunis
dalam kelompok-kelompok nasionalis dan agama yang besar pengaruhnya. Tetapi
tafsiran-tafsiran seperti itu belum berhasil menempatkan politik Nasakom dalam
konteks pemikiran politik Jawa.
Pratanda-pratanda sosial dari pemusatan kekuasaan adalah kesuburan,
kemakmuran, stabilitas dan kemuliaan. Sebagaimana dikatakan oleh dalang wayang
beber dalam gambarannya yang klasik tentang Kerajaan Kediri di Jawa zaman dulu:
"Negara Kediri dapat dilukiskan sebagai negara yang terbentang luas dan lebar,
dengan pantai yang panjang, gunung-gunung yang tinggi, subur, makmur, tentram
dan teratur. Kalau subur, maka desa-desalah yang subur; kalau makmur, maka
kerajaanlah yang makmur. Pangan dan sandang sangat murah. Bahkan janda yang
paling hina pun sanggup memiliki gajahnya sendiri dengan pawangnya. Demikianlah
kekayaan dan kemakmuran kerajaan itu. Tidak ada yang meminta-minta dari orang
lain; masing-masing mempunyai harta bendanya sendiri-sendiri. Semua ini berkat
kayanya dan teraturya kerajaan itu.