Page 32 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 32

satyawacana  atau  ‘satunya  kata  dengan  perbuatan’.  Apalagi  karena  sekarang  ini,
               terlalu banyak keteladanan verbal ketimbang keteladanan aktual. Demikian juga, lebih
               sering  kita  mendengar  ungkapan  simbolik  daripada  transparansi  informasi.  Karena
               sekarang ini banyak dari kita, baik penguasa maupun masyarakat, senantiasa mencari
               makna-makna simbolik di hampir segala peristiwa.
                     Sampai batas tertentu simbolisme itu perlu dan baik, asal tidak over simbolisasi
               yang tidak mengakar pada realitas. Karena hal ini tidak akan melahirkan tindakan guna
               mencapai  makna  yang  nyata  dari  simbol-simbol  yang  kita  ciptakan  sendiri  itu.  Kita
               menaruh  kekhawatiran  besar,  jika  kemudian  yang  menjadi penting  adalah  ungkapan-
               ungkapan simbolik itu sendiri, terutama dari pemimpin yang menjadi panutan perilaku
               budaya masyarakat.
                     Sejalan  dengan  proses  dialektika,  di  mana  selalu  terjadi  penggeseran  nilai-nilai
               zaman,  maka  apa  yang  terungkap  pada  masa-masa  yang  kemudian,  adalah
               terbentuknya sintesa-sintesa baru tentang konsep kepemimpinan dalam suatu setting
               sistem kenegaraan yang amat berbeda dengan masa Mataran dulu.
                     Namun kita tetap mendambakan sosok kepemimpinan yang melekat pada dirinya
               kesempurnaan karakter seorang Satria Pinandhita, yang mungkin hanya dapat kita raih
               melalui mimpi-mimpi kita. Sungguh kita sedang berada diujung ajalan, atau dipermuaan
               jalan  baru,  yang  mungkin  saja  masih  pajang  untuk  bisa  mendapatkan  saripati
               manajemen  dan  kepemimpinan  model  Jawa  yang  bernuansa  modern  untuk  bisa
               diterapkan.

               B. Moralitas sebagai Ukuran Kepemimpinan Jawa
                     Moral merupakan ukuran abstraksi kepemimpinan. Kualitas kepemimpinan Jawa
               dapat  diukur  dari  moralitasnya.  Jika  ada  seorang  Kapolsek  melakukan  pelecehan
               seksual dengan bawahannya, hingga pergi sampai empat bulan, ini jelas dipertanyakan
               moralitasnya. Begitu pula seorang Kapolsek yang ada main dengan Kapolsek lain, jelas
               diragukan  acuan   moralnya.  Begitu  pula  seorang  pimpinan  partai  yang  memiliki  isteri
               simpanan di mana-mana, demi pencucian uang, patut dipertanyakan sisi moralnya.
                     Moral  menyangkut  baik  buruk  tingkah  laku  pimpinan.  Moral  adalah  aturan
               ideologis yang membingkai tindakan seorang pimpinan. Moral merupakan ukuran baik
               buruk terhadap tindakan seseorang. Pimpinan yang bermoral, tentu memiliki tindakan
               yang  baik.  Pimpinan  yang  tidka  bermoral,  tentu  tindakannya  bertentangan  dengan
               nalar.  Jika  pimpinan  Jawa  yang  sudah  jelas  kaya,  kalau  harus  korupsi,  menumpuk
               uang, mencuci uang, ini sebenarnya kurang atau tidak bermoral. Sudah jelas ketahuan
               kalau korupsi, ketika di persidangan masih mengelak, ini juga pimpinan amoral.
                     Setiap  wajah  kepemimpinan  memiliki  ideologi,  yang  memuat  moralitas.  Ideologi
               adalah  paham  kepemimpinan  yang  melandasi  gerak  seorang  pimpinan.  Di  Jawa
               ideologi selalu berhubungan dengan kejawen. Orang Jawa selalu memasalahkan hidup
               individual  yang  bermodus  kekerasan.  Oleh  karena  orang  Jawa  menghendaki
               kepemimpinan berjalan dalam lingkup komunal, penuh kehalusan budi. Pimpinan yang
               halus  budinya  adalah  orang  yang  bermoral  tinggi.  Pimpinan  yang  menjaga  moralitas
               pun akan mendapat tantangan dan musuh yang tidak ringan.
                     Menurut  Mulder  (2001:79-85)  sekarang  musuh  di  dalam  kepemimpinan  yang
               menyebabkan  kerisauan sosial,  yang dikaitkan oleh  kata-kata yang  sama, adalah
               mereka  para  individu  dan  kelompok  yang  terbelenggu  oleh  "individualisme"  atau
   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37