Page 21 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 21

harta rakyat? Bagaimana dengan kasus BLBI, Bulogate I dan II,  yang telah “menelan”
               elit politik. Cukup jelas.
                     Berarti,  ada  kan  pemimpin  yang  nistha?  Silahkan  dipertimbangkan,  kalau  kasus
               Akbar Tandjung yang berlarut-larut. Tarik ulur pembentukan Pansus Bulogate II, yang
               ditolak  mentah-mentah  partai  Golkar  –  jelas  sekali  mengindikasikan  ketercelaan
               pemimpin  kita.  Hal  itu  artinya  di  antara  para  pimpinan  kita  belum  ada  yang  berani
               sebagai satria pinandhita, artinya mau legawa mengakui kesalahan. Yang ada, justru
               mencari  pembenaran  dengan  dalih  yang  bertubi-tubi.  Umumnya,  pimpinan  kita  (lalu)
               menganggap rakyat masih bodoh seperti ketika orde baru.
                     Kedua, pemimpin tergolong madya, bercirikan dua hal. Yakni, (1) pemimpin yang
               mau memberikan sebagian rejekinya kepada rakyat. Pemberian disertai niat tulus dan
               keikhlasan.  Apalagi,  kalau  ada  rakyat  yang  minta.  Pimpinan  madya,  tak  berusaha
               menggemukkan badan sendiri sementara rakyat di kanan kiri jatuh miskin tujuh turunan.
               Pemimpin  madya,  mau  memberi  sebagian  harta  tetapi  tak  boros.  (2)  pimpinan  yang
               mampu menghukum rakyat yang berbuat dosa dengan sikap adil. Dalam menghukum
               tetap  memperhatikan  HAM  (nganggo  kira-kira  lan  watara).  Jadi,  pemimpin  madya  di
               negeri  ini  mustinya  bersikap  tak  membedakan  warga  negara  di depan  hukum.  Kalau
               masih  ada  orang  yang  kebal  hukum  dengan  pura-pura  sakit,  sakit  tak  bisa
               disembuhkan, jelas tak adil. Mengapa tak dari dulu-dulu, ketika sehat diadili – kalau tak
               ingin mempermainkan hukum.
                     Ketiga,  pemimpin  yang  tergolong  utama  memiliki  ciri  bersikap  berbudi
               bawaleksana. Artinya, mau memberikan sesuatu kepada rakyat secara iklas lahir batin.
               Mereka juga tak mengharapkan apa-apa dari rakyat, kecuali hanya pengabdian yang
               sesuai  kewajibannya.  Kecuali  itu,  mereka  juga  memiliki  sikap  teguh  janji.  Apa  yang
               dijanjikan harus ditepati. Terlebih lagi janji kepada Tuhan, melalui sumpah jabatan. Jika
               sebelum menjadi pimpinan, pada saat kampanye mereka mengobral janji muluk-muluk
               –  kini  saatnya  pimpinan  kita  membuktikan.  Jika  Megawati  ingin  ke  derajat  pemimpin
               utama,  tentu  pemberantasan  KKN  tak  setengah  hati.  Kalau  Mega  mau  mempelopori
               “hidup  sederhana”  dan  membenahi  birokrasi  di  negeri  ini  yang  berbelit-belit,  seperti
               diusulkan  Barnas  (Barisan  Nasional)  –  memang  oke,  dia  termasuk  tingkat  utama
               kepemimpinan. Berarti, demokrasi telah mengalir, tak tersumbat.
                     Dengan  demikian,  sudah  sepantasnya  para  pimpinan  bangsa  berlomba  meraih
               derajat utama. Orang yang mampu mencapai derajat utama, akan terpilih terus dalam
               suksesi  kepemimpinan.  Berbeda  dengan  pimpinan  yang  hina,  akan  menjadi  sampah
               masyarakat.  Ketika  mereka  mati  pun  kadang-kadang  rakyat  tidak  mau  mengubur
               jenazahnya. Oleh sebab itu, setiap pimpinan mau tidak mau harus berupaya mencapai
               keutamaan.
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26