Page 16 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 16
Karena sifat memusat tersebut maka tidak akan ada kekuatan lain yang
dibiarkan otonom atau terlepas dari kendali pusat kekuasaan, karena hal ini
selain mengganggu keseimbangan atau keharmonisan lingkaran kekuasaan,
juga secara potensial membahayakan keberadaan pemegang kekuasaan
tersebut.
b. Kekuasaan berasal dari alam illahiah atau adikodrati yang tunggal, dan
bukannya berasal dari rakyat sebagaimana teoriteori kedaulatan
rakyat.lmplikasinya adalah tidak diperlukannya sail atau tidaknya sebuah
kekuasaan (dari mana didapat), tidak diperlukannya justifikasi atau keabsahan
secara moral, sehingga tidak mengharuskan pemegang kekuasaan memper-
tanggungjawabkan segala perbuatan kepada rakyat. Pertanggungjawaban moral
kalaupun ada bukan merupakan hasil dari hubungan kekuasaan antara yang
memerintah dengan yang diperintah, melainkan lebih sebagai bentuk tanggung
jawab moral yang ditumbuhkan dari dalam diri sendiri. Para pemegang
kekuasaan menurut paham kekuasaan Jawa menerima kekuasaan tersebut dari
sumber adikodrati, dan kekuasaan yang diterima tersebut dianggap sebagai
amanat atau tugas suci yang hanya mempunyai konsekuensi-konsekuensi
tertentu dengan sumber atau asal kekuasaan dan bukannya dari pihak lain.
Gagasan di atas sebenarnya berasal dari Anderson (1986), yang memandang
budaya kekuasaan Jawa memiliki nilai tradisi. Kedua karakteristik kekuasaan
tersebut sangat mempengaruhi perilaku elite politik di Indonesia. Karakteristik
pertama, yaitu kekuasaan yang cenderung sentralistis, akan kita dapati dalam pola
pengambilan keputusan elite politik di tingkat paling atas atau di setiap organisasi-
organisasi sosial politik umumnya. Kecenderungan yang demikian menempatkan
pemegang posisi puncak sebuah kekuatan politik berperan sangat dominan atau
menentukan dalam setiap proses pengambilan keputusan-keputusan (politik). Oleh
karenanya kontrol yang sangat ketat adalah konsekuensi dari persepsi atas
kekuasaan.
Karakteristik kedua, karena kekuasaan berasal dari alam adikodrati, sehingga
tidak mempunyai ikatan moral secara horisontal, mengakibatkan tidak adanya pola
pertanggungjawaban sebuah keputusan atau kebijaksanaan elite kepada
masyarakat umum. Barangkali bisa saja masyarakat didengar suaranya atau seolah-
olah dibuat mereka ikut berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, namun
pada prinsipnya, persepsi tentang kekuasaan seperfi ini menon-aktifkan partisipasi
arus bawah yang ada.
Selain itu Paham kekuasaan Jawa ini juga melahirkan adanya budaya ewuh
pakewuh. Budaya ini berujud dalam perilaku elite (dan mungkin masyarakat
Indonesia umumnya) yang diekspresikan dalam prinsip rukun dan prinsip hormat.
Menurut Mulder (1989), rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan
tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling
membantu. Sedang menurut Geertz (1973), berlaku rukun berarti menghilangkan
tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga
hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Ada dua segi tuntutan
kerukunan; pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya bukan penciptaan
keadaan keselarasan sosial, melainkan untuk tidak mengganggu keselarasan yang
diandaikan sudah ada. Prinsip kerukunan ini bersifat negatif, adanya tuntutan untuk