Page 9 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 9
BAB I
APA DAN BAGAIMANA KEPEMIMPINAN JAWA
A. Dasar Pemikiran Kekuasaan Jawa
Kekuasaan dan kepemimpinan memang dapat ditinjau dari aneka sudut
keilmuan. Pada kesempatan ini, wawasan antropologi sastra, antropologi budaya, dan
antropologi politik akan dipaparkan, untuk mencermati gejolak kepemimpinan Jawa
sepanjang jaman. Saya sebut sepanjang jaman, kakrena konteks kepemimpinan Jawa
itu berlaku terus-menerus (on going), yang tidak pernah lapuk termakan jaman.
Kekuasaan dan kepemimpinan Jawa juga banyak digarap melalui aspek sastra,
budaya, dan politik.
Pemikian Geertz (1992:168-169) bahwa sumbangan antropologi terhadap politik
lebih menitikberatkan masyarakat petani, tradisi, yang memiliki ambisi-ambisi
kenegaraan memang benar. Ambisi tradisional Jawa misalnya, kini telah berkembang
ke jagad kepemimpinan modern. Ambisi saling menguasai yang lain, dengan cara
tradisi dan terang-terangan telah bercampur baur. Maka tidak mengherankan jika
dasar pemikiran kekuasaan Jawa, selalu terkait dengan pimpinan, baik tradisional
maupun modern. Kekuasaan itu lekat pada sang pemimpin. Kekuasaan akan
menyebabkan sang pemimpin memiliki kewibawaan. Pimpinan dikelilingi oleh
persoalan budaya kekuasaan Jawa yang rumit. Budaya dan kepemimpinan sangat
dekat. Keduanya saling membutuhkan. Keduanya juga saling isi-mengisi, karena
kepemimpinan butuh budaya, ketika berhadapan dengan perkembangan politik.
Budaya juga mewarnai dunia kekuasaan Jawa. Mencoba mengkaji dasar pemikiran
kekuasaan Jawa untuk memahami dan menerangkan kehidupan kemasyarakatan dan
politik. Koentjaraningrat (Setiawan, 1998:54-57), berpendapat bahwa unsur budaya
merupakan variabel terpenting dan paling utama guna memahami perkembangan
politik suatu bangsa karena budaya politik suatu bangsa atau masyarakat dipengaruhi
oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat atau bangsa tersebut.
Kebudayaan dalam hal ini adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia melalui belajar. Kebudayaan tersebut memiliki unsur-unsur universal, yang
juga merupakan isi dari seluruh kebudayaan, yaitu: (a) Sistem religi dan upacara
keagamaan, (b) Sistem organisasi kemasyarakatan, (c) Sistem pengetahuan, (d)
Sistem bahasa, (e) Sistem kesenian, (f) Sistem mata pencaharian hidup, (g) Sistem
teknologi dan peralatan. Paham yang bernuansa Koentjaraningrat (1988:37) minded
ini sebenarnya dapat menyesatkan, sebab budaya sekedar dipahami sebagai hasil.
Menurut hemat saya, budaya justru lebih menekankan proses belajar. Proses jauh
lebih penting daripada hasil.
Barker (2005:8) menyatakan bahwa kekuasaan selalu terkait dengan ras,
gender, kelas, budaya, dan kolonialisme. Keadaan ini yang menyebabkan para
pimpinan juga orang yang perlu menguasai budaya bawahan. Budaya pun sering
mempengaruhi kepemimpinan. Sesungguhnya kebudayaan yang mewarnai dunia
kepemimpinan Jawa tidak terbatas pada tujuh unsur budaya klasik itu. Budaya tidak
terbatas pada tujuh unsur itu. Kita akan terjebak dan celaka kalau memahami budaya
hanya dari tujuh unsur itu. Budaya adalah proses komunikaksi antar manusia. Lebih