Page 250 - Toponim sulawesi.indd
P. 250
236 Jaringan Maritim Indonesia: Sejarah Toponim Kota Pantai di Sulawesi
kampung dipimpin oleh seorang menteri atau bonto. Orang-orang Melayu
itu mendirikan perkampungan di tepi pantai.
Perkampungan awal itu kemudian ditinggalkan oleh penghuninya ke
tempat yang lebih tinggi dan aman, yakni sekitar 5 km ke arah barat. Perpindahan
ini dilakukan untuk menghindari serangan bajak laut yang berasal dari Tobelo
yang pada masa itu seringkali menyerang daerah-daerah pantai di kawasan
perairan Sulawesi, khususnya Sulawesi Tenggara, termasuk wilayah Buton.
Pada abad XIX sampai medio abad XX wilayah inilah yang paling berkembang
dan kemudian menjadi kota Bau-Bau.
Secara ekologis wilayah Buton terdiri dari daerah perbukitan dan
sedikit daratan. Wilayah pantai Buton yang dikenal berkembang adalah
Bau-Bau. Buton memiliki selat yang dinamakan selat Bau-Bau sebagai
pintu masuk ke pelabuhan. Selat ini cukup untuk dilewati oleh kapal dan
memudahkan pengawasan terhadap aktivitas di pelabuhan itu. Di sekitar
pelabuhan terdapat beberapa kampung yang letaknya relatif datar dan
masyarakat kampung ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai
pengrajin kuningan, gerabah, dan tukang besi.
Perluasan pertama wilayah kerajaan Buton dilakukan dengan
persekutuan bersama lima kampung lain, sehingga wilayah Buton
menjadi sembilan kampung (siolimbona). Kesembilan kampung
itu adalah kampung Sambali, Melai, Gama, Wandailolo dan Rakia.
Masyarakat kampung tersebut bekerja sebagai perajin emas, perak,
besi, dan tembaga. Para perajin ini didatangkan oleh Tuarade dari Jawa.
Masyarakat yang bermukim di sekitar pelabuhan Buton sebagian bekerja
sebagai pengrajin gerabah, kuningan, dan tukang besi.
Perkembangan kota Buton menjadi berarti ketika 72 kadi bergabung
menjadi satu. Daerah-daerah lainnya juga menyatakan diri untuk
bergabung dalam wilayah kesultanan Buton. Untuk mengatur wilayah
Buton yang semakin luas, maka kebijakan kesultanan adalah membentuk